Senin, 02 Desember 2013

Surat cinta untuk adikku yang baik

Dear adikku yang baik,
Mungkin kau akan membaca surat ini dalam keadaan setengah mengantuk pagi nanti atau di sela-sela waktumu dengan dunia yang baru beberapa bulan kau jalani, dunia mahasiswi. Kapan pun itu, kau tahu tulisan selalu menjadi cara terbaikku berkomunikasi. Kini mungkin kau sedang bertanya-tanya apa maksud kakakmu mengirimkan surat ditengah malam seperti ini. Aku hanya sedang... memikirkan kita. Kau, aku, mamah dan papah.

Dear adikku yang baik,
Maafkan aku yang terlalu asik dengan duniaku. Maafkan aku yang selalu membuatmu merasa sendiri. Maafkan aku yang terlalu egois hingga lalai dalam membimbingmu. Aku melangkah, tanpa sempat menoleh padamu yang butuh uluran tanganku.

Dear adikku yang baik,
Untuk kesabaranmu menghadapiku, terimakasih. Untukmu yang selalu mengalah untukku, terimakasih. Untukmu yang selalu menerima aku apa adanya, terimakasih.

Dear adikku yang baik,
Kau tahu? Kita punya misi. Iya, kita, kau dan aku. Hanya kau dan aku yang bisa. Bukan kau atau aku. Tapi, kau dan aku. Aku sedang memikirkan hadiah untuk orang tua kita. Hadiah atas segala pengorbanan dan cinta kasihnya sebagai wakil Allah di muka bumi. Hadiah yang bukan dengan mudah kita raih. Hadiah yang bukan dalam waktu singkat dapat kita berikan. Bukan uang, rumah atau segala perhiasan di dunia.

Hadiah yang dapat mengantarkan mereka ke surga Allah.
Kelak, kita akan berkumpul kembali di alam yang abadi.
Doa anak-anak yang soleh dan solehah. Hanya itu yang bisa kau dan aku lakukan.
Menyelipkan nama mereka dalam setiap sujud. Mengharapkan ridho Allah atas mereka. Mengharapkan ampunan atas apapun yang mereka lakukan. Mengharap Allah mencintai mereka sebagaimana mereka mencintai kau dan aku sedari kecil.

Kau dan aku kelak akan dipertanggungjawabkan oleh mereka di hari pembalasan. Tegakah kita mendorong mereka masuk ke dalam siksa Allah hanya karena dosa-dosa yang kita berbuat juga merupakan tanggung jawab mereka?

Dear adikku yang baik,
misi ini bukan untukmu, bukan juga untukku.
Tapi untuk mereka. Yang darah dan keringatnya menghidupi kita.


***

2 Desember 2013
Laa hawla walaa quwata ila billah..

Minggu, 29 September 2013

Muslimah

Islam has raised the status of woman from below the earth to so high that paradise lies under her feet.

Hari ahad kemarin tepatnya tanggal 22 September 2013 saya diberi izin oleh Allah untuk mengikuti satu majelis yang diadakan oleh pemuda mesjid istiqomah yang diisi oleh salah satu pembicara yang saya senangi yaitu ustadz Felix Y. Siauw.

Salah satu yang paling menarik perhatian saya saat menyimak tausiyah ustadz Felix adalah tentang wanita. Dua buku terbarunya memang dikhususkan untuk wanita walaupun tak jarang pria juga membacanya. Setelah ditanya mengapa buku-buku itu dikhususkan untuk kaum muslimah? Ini jawaban beliau..


Muslimah adalah potensi terbesar umat Islam sekaligus ancaman terbesar hancurnya umat Islam karena 3/4 dari jumlah muslim di dunia diisi oleh muslimah. Sehingga mudah bagi orang-orang yang membenci Islam, untuk memporak-porandakan Islam dengan terlebih dahulu merusak akhlaq muslimahnya.

Karena jika seorang muslimah rusak, maka akan ada 2 orang yang ikut rusak dengannya. Yang pertama adalah suaminya. Tak jarang seorang suami melakukan hal-hal yang dibenci oleh Allah karena tuntutan istrinya. Misalnya, tetangga yang baru beli mobil baru, jika seorang istri dengan akhlaq yang buruk tentu akan menuntut suaminya untuk menghalalkan segala cara untuk bisa membeli mobil baru seperti tetangganya. Maka dari situ dapat menjadi awal mula kecurangan suami dalam bekerja.

Yang kedua adalah anak-anaknya. Pernahkah kalian mendengar kisah Nabi Ismail yang disembelih oleh ayahnya, Nabi Ibrahim? Ketika Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih Nabi Ismail, Nabi Ibrahim begitu gelisah. Bagaimana tidak? Buah hati yang setelah sekian lama ia nantikan kehadirannya, diperintahkan Allah untuk disembelih. Melihat Nabi Ibrahim yang gelisah, Nabi Ismail bertanya, "Ada apa ayah terlihat begitu gelisah? Begitu risau?", kemudian ayahnya, Nabi Ibrahim, menyampaikan padanya perihal mimpinya tersebut. Lalu apa yang dikatakan oleh Nabi Ismail? Ia berkata, "Jika ini perintah Allah, maka lakukanlah.". Subhanallah.. Begitu besar keyakinannya pada Allah, bahwa Allah tidak akan memerintahkan hal yang buruk untuk hambanya.

Darimanakah seorang nabi Ismail belajar tentang ketauhiidan pada Allah? Dari siapa lagi kalau bukan dari ibunya, Siti Hajar.

Ingatkan kalian kisah Siti Hajar yang ditinggalkan oleh suaminya, Nabi Ibrahim, ditengah gurun pasir yang sangat kering? Pada saat itu Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail yang masih kecil tengah melakukan perjalanan untuk hijrah dari satu kota ke kota lain, ditengah perjalanan tiba-tiba Nabi Ibrahim pergi meninggalkan Siti Hajar dan Nabi Ismail, Siti Hajar bertanya pada suaminya hendak pergi kemana, namun Nabi Ibrahim tidak menjawab, hingga berulang kali Siti Hajar bertanya, tidak juga dijawab pertanyaannya itu. Maka Siti Hajar mengubah pertanyaannya menjadi, "Suamiku, apakah ini perintah Allah?", Nabi Ibrahim membalikkan badannya menghadap Siti Hajar, memegang pundak istrinya dengan erat sambil mengangguk dan berkata, "Ya ini perintah Allah." mendengar suaminya itu, Siti Hajar hanya menjawab, "Jika ini perintah Allah, maka lakukanlah. Aku percaya bahwa Allah tidak akan mencelakakan hambanya walau sekecil apapun.". Subhanallah..

Berbeda dengan kisah diatas, ingatkah kisah Nabi Nuh? Anak dan istrinya termasuk kedalam orang-orang yang tidak percaya pada perintah Allah. Saat Nabi Nuh mengajak anaknya untuk naik keatas perahu, ia tidak mau ikut. Karena ia percaya bahwa gunung akan lebih menyelamatkannya daripada perahu. Darimana anak Nabi Nuh itu belajar bahwa gunung bisa lebih dipercaya dibanding perintah Allah? Ia belajar dari ibunya, yang termasuk kedalam orang-orang yang khianat.

Tidakkah dua kisah diatas cukup menjadi bukti bahwa muslimah sangat berperan penting dalam mendampingi suami dan mendidik anak-anaknya?


Maka, kita belajar dari sini, kawan-kawan muslimah. Mari jaga kelangsungan umat Islam dengan terlebih dahulu menjaga diri kita. Mempersiapkan diri kita dari sekarang untuk mendampingi suami menuju kebaikan serta melahirkan anak-anak yang soleh dan solehah.



Wassalamu'alaikum :)

Kamis, 22 Agustus 2013

Sebuah Puisi Untukmu Tetap Bertahan

Siang ini karena tidak ada kegiatan, saya menjelajahi dunia blog seperti biasa. Lalu menemukan puisi dibawah ini. Dengan sedikit editan, saya menuliskan kembali puisi itu di blog saya, karena menurut saya ini dapat menjadi penguat bagi siapa pun yang sedang berjuang di jalan Allah.


Sebuah Puisi Untukmu Tetap Bertahan

Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia-sia....
Yakinlah Allah tahu betapa keras engkau sudah berusaha.
 
Ketika kau sudah menangis sekian lama dan hatimu masih terasa pedih...
Yakinlah Allah sudah menghitung airmatamu.
 
Jika kau pikir bahwa hidupmu sedang menunggu sesuatu dan waktu serasa berlalu begitu saja...
Yakinlah Allah sedang menunggumu untuk bersama.
 
Ketika kau merasa sendiri dan teman-temanmu terlalu sibuk..
Yakinlah Allah selalu berada di sampingmu.
 
Ketika kau pikir bahwa kau sudah mencoba segalanya dan tidak tahu lagi hendak berbuat apa..
Yakinlah Allah punya jawabannya.
 
Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan...
Yakinlah hanya Allah satu-satunya sumber ketenangan.
 
Jika tiba-tiba kau dapat melihat jejak-jejak harapan...
Yakinlah Allah sedang berbisik kepadamu.
 
Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan merasa ingin mengucap syukur...
Yakinlah Allah telah memberimu rahmat.
 
Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban...
Yakinlah Allah telah tersenyum padamu.
 
Ketika kau memiliki tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi...
Yakinlah Allah sudah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu.
 
Ingat, bahwa dimanapun kau atau kemanapun kau menghadap....
YAKINLAH ALLAH MAHA TAHU & MAHA MENDENGAR...


***

Original writed by yukinuyuinunu




Rabu, 21 Agustus 2013

Ar-Rohman


Fabiyyai 'alaa irrobikuma tukadziban? | Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan? - Q.S. Ar-Rohman: 13


Berapa banyak dari kita yang mendustakan nikmat Allah? Sifat dusta adalah cenderung menyembunyikan kebenaran. Seberapa banyak dari kita yang menyadari bahwa nikmat yang didapat semata dari Allah, namun tidak mampu mengakui kebenarannya?

Setiap dini hari dan malam sebelum memulai kegiatan belajar mengajar di Daarut Tauhiid, kami, para santri, selalu diarahkan untuk membaca surat Ar-Rohman bersama-sama. Semakin sering saya membaca surat ini, semakin sering pertanyaan itu muncul dikepala saya. Masih beranikah saya mengeluh disaat begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan?

Saya teringat pada salah satu teman satu kamar saya yang dikaruniai 'kelebihan' oleh Allah. Namanya Deti. Awal saya mengenal, Deti adalah anak yang periang. Ia mampu membangun suasana canggung menjadi lebih cair. Saya selalu menyebutnya "Si Bungsu" karena sifatnya yang ceria dan kadang kekanakan. Baru dua malam saya satu kamar dengan Deti, ada yang aneh dengannya. Ia selalu memakai alat menyerupai handsfree bluetooth ditelinganya. Awalnya saya tidak berani bertanya, namun pada salah satu pembicaraan bermula dari pembicaraan tentang SLB (Sekolah Luar Biasa), Deti tiba-tiba bilang,

"Saya hampir aja sekolah di SLB" dengan gayanya yang cuek dan riang seperti biasa.

"Loh? Ko bisa? Gak ngerti." Saya spontan bertanya. Karena bingung sebenarnya dia sedang bercanda atau serius -___-

"Iya, saya mengalami kurang pendengaran sejak kelas 5 SD. Semakin lama, pendengaran saya semakin memburuk, saat saya mau masuk ke SMA, bapak takut kalau saya teruskan sekolah di sekolah umum, saya jadi tertekan.

"Akhirnya saya didaftarkan di salah satu SLB di Garut. Namun entah kenapa saya merasa saya bisa sembuh. Saya ini normal. Saya mau sekolah di sekolah yang normal. Karena rasa ingin sembuh yang sangat besar, saya selalu mendesak bapak untuk membawa saya ke dokter setiap seminggu sekali walaupun sebenarnya pemeriksaan cukup dilakukan sebulan sekali.

"Akhirnya dokter di Garut mengarahkan kami untuk mencoba memeriksa di rumah sakit di Bandung, dengan peralatan yang lebih canggih. Setelah diperiksa oleh dokter di Bandung, ternyata pendengaran saya tetap tidak bisa sembuh, namun ada alat pendengaran yang lebih kecil untuk memudahkan saya mendengar. Saat itu saya masih menggunakan alat pendengaran yang besar dan cukup mengganggu.

"Ternyata masalah tidak selesai sampai disitu. Kondisi ekonomi keluarga menuntut saya memilih salah satu, beli alat pendengaran dulu atau sekolah dulu. Saat itu saya bimbang, disatu sisi saya ingin sekali sekolah, namun disisi lain saya juga sangat membutuhkan alat pendengaran. Saya hanya menyampaikan pada bapak, kalau saya ingin sekolah. Dan saya yakin, saya dapat bersekolah.

"Akhirnya saya ikhtiar mencari ujian beasiswa untuk masuk SMA. Atas izin Allah, ternyata SMAN 1 Garut membuka seleksi beasiswa untuk lulusan SMP di Garut dengan biaya sumbangan yang tidak terlalu besar. Saya mengikuti seleksi itu dengan tetap menyerahkan semuanya pada Allah.

"Alhamdulillah saya diterima di SMAN 1 Garut, sekolah tersebut adalah sekolah favorit di Garut. Dan yang lebih mengejutkan, berdasarkan tes seleksi saya diterima di kelas akselerasi dimana saya dapat menyelesaikan SMA hanya dalam jangka waktu dua tahun saja. Namun bapak yang terlalu khawatir, membujuk saya untuk tidak mengambil kelas akselerasi, beliau bilang saya tidak boleh terlalu memforsir kemampuan saya.

"Saya hanya nurut saja. Apapun yang bapak lakukan pasti demi kebaikan. Segala puji bagi Allah, saat ini saya dapat membuktikan bahwa saya adalah anak yang normal."


Deti benar-benar menyita saya masuk pada kisah hidupnya. Semua ia ceritakan dengan nada yang ringan tanpa beban membuat saya benar-benar kehilangan kata mendengarkan pengalaman hidupnya. Saat ini rasanya tak pantas jika saya masih mempertanyaan segala kekurangan diri..


Subhanallah..
Deti adalah salah satu bukti kebesaranMu.
Engkau yang memampukan, Engkau yang memberi kekuatan.
Tak ada yang tak mungkin bagiMu..

Allah berfiman..
Fain tauddu ni'matallahi la tukhsuuha | Jika kamu menghitung nikmat Allah (yang diberikan kepadamu) maka engkau tidak akan mampu (karena terlalu banyak).

 



22.33
Daarul Hikam, 21 Agustus 2013

Jumat, 16 Agustus 2013

Being sexy!

I just blogwalking and found this video. This is video of Ashton Kutcher's speech at Teen Choice Award. I love it too much so I write down his speech. Check them out :)



"I found there are secrets how to keep in your career going in Holywood and to make things change. And there are amazing things I learn when I was Christ and I wanna share those things with you all because its help me to be where I'm now. So, its three things. The first thing is about opportunity, the second thing is about being sexy, and the third thing is about living life.

So, the first thing is opportunity. I believe that opportunity looks a lot like hard work. When I was 13th I got my first job with my dad carrying things to the roof, and then I got a job washing dashes at the restaurant and then I got a job at the grocery store daily and then I got a job in the factory. And I never had a job in my life that I was better than! I was just lucky to have a job. And every job I have was a stepping stone to my next job, and I never quit my job until I have my next job. So, the opportunities looks a lot like hard work.

And the second thing is about being sexy. The sexiest thing in the entire world is being really smart, being thoughtful and being generous. Everything else is craps! I promise you! Its just crap that people try to sell this to you to make you feel less. So, don't buy it! Be smart! Be thoughtful! And be generous!

and the last thing is something I just learn when I'm making movie about Steve Jobs. And Steve Jobs said, "When you grow up, you realize that the world is wider than this. And you just living your life inside this world. You just try to not getting trouble, and maybe got education, and got a job, and make some money then have a family. But life can a lot brighter than that when you realize one simple thing and this is the thing, everything around us that we called life was made up by people that not smarter than you!". You can build your own thing. You can build your own life that other people can life on it. So, build life, don't live one, build life!

Find your opportunities! And always be sexy!"



Yah!
I realize how we are all always play save with our life. We just too lazy to come out from our comfort zone. So, at the end we just live on the life was made by people that not smarter than us. We can't really build our own life. Then what we got just that-same-thing-as-others.

I wanna start building my life :)
Bismillah..


Check out the video for the whole speech


It Can Only Get Better

Let the sun refuse to shine
It won't be long before the days are brighter
If every step's an uphill climb
Carry on until they feel much lighter
For all the clouds up in the sky
For all the teardrops in our eyes

It can only get better
Be still my heart
It can only get better
We've come this far
It can only get better
I know it hurts 
For what it's worth
It can only get better


***


Today I feel worried for something I decided, and somehow I feel like I won't be the same as before. My mom said, "It's all what you want, it's all what you decided, so take the risk." I know what I decided is a really good one, but we all, humans, we are often so afraid of change. For example, when we are walking down the street, then come to a construction site and we need to change our path. By scanning around the area we should be able to find a detour and follow it to get where we want to go. Because we've taken the normal path before, we don't worry that it'll take us where we want to go. But when we run into a roadblock, suddenly information we trusted has broken down. We start to worry, where does the other road lead? How long will it take? Is it dangerous? What we don't know tends to scare us, and change creates a lot of things we don't know. Like what I feel this day.

The day after tomorrow, I will start my day as a santri at Daarut Tauhiid. I'll study more about my religion, Islam. I want to get closer to Him and this is the way I take. There will no more my mom, dad or my sister beside me. I wonder, how will I live my life there? What will I eat? Haha or who will be my roommates? What kind of person is she? This thing is really give me a lot of stress. Then I bump into my friend's blog, and it is what she write on her blog:

"When circumstances getting bad, and I feel my world crumbles, I start to worry too. Too often I don't trust Him as the pilot of my life. Too often I doubt the captain. He says don't worry, but I got scared. He says everything will be okay, but I still have a second guess. He is the pilot. He knows the field. Trust Him."

"I know He is Someone who never watches from outside the ring. He is here, inside my battlefield. Taking the pain I take, feeling the sore I feel. Telling me which move I should take. And knowing this makes me better. Because I know I’m not alone. Because I know I’m not struggling by myself. Because I know I have a God that never loses a battle. Not a single one."


Yah, She is rite. I'm not struggling by myself. I trust Him. I trust Allah will always beside me.
Laa haula walla quata illa billah.. Bismillah..


Which way will you take?

Sabtu, 15 Juni 2013

One Litre of Tears



One Litre of Tears (2005) 

Diangkat dari kisah nyata tentang perjuangan seorang gadis melawan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Penyakit yang menyerang otot-otot tubuhnya sehingga cepat atau lambat akan mengalami kelumpuhan. Sebenarnya ini film lama yang berbentuk drama, hanya saja kemarin malam saya iseng menelurusi sebuah blog dan menemukan cerita ini dalam bentuk film--seseorang membuat versi pendek dari drama Jepang ini. Kalau ada yang iseng juga mau nonton, bisa tonton disini :)

***

Ibu, kali ini aku bukan ingin bercerita tentang bagaimana semangat gadis itu memperjuangkan hidup, atau bagaimana ia dengan sabar melawan penyakit yang menggerogotinya. Meski itu tetap poin hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini.

Ibu, satu jam pertama aku mulai bertanya jika aku adalah dia, akankah ada seseorang yang meski sepanjang waktu aku harus duduk dikursi roda, ia akan tetap berjalan disampingku tanpa merasa malu?

Akankah ada seseorang yang meski aku tak dapat lagi berbicara, ia akan tetap tersenyum padaku dan berkata semua akan baik-baik saja?

Akankah ada seseorang yang memelukku saat aku merasa takut meski sekadar untuk menutup mata?

Akankah ada, bu?

Sedikit banyak aku cemburu pada gadis dalam cerita itu. Bagaimana bisa ia dikelilingi oleh mereka yang begitu tulus mencintainya? Aku semakin gamang ketika tanya yang menggelantung membuat rasa ragu menggelembung. 

Atas semua pertanyaan itu, egoiskah aku? batinku.

Tapi ibu, bukankah egois adalah bagian dari manusiawi? Ketika kita selalu menempatkan diri pada titik paling menderita. Menempatkan diri seolah kita paling terluka. Berharap seseorang datang dan menemani dengan setia. Lupa, bahwa setiap manusia mengharap hal yang sama.

Ibu, pada akhir cerita aku paham mengapa gadis itu dikelilingi oleh mereka yang dengan tulus mencintainya. Ya, kau benar tentang apa yang datang dari hati akan tepat mengenai hati. Karena gadis itu tulus mencintai.

Kita tak akan pernah tahu berapa kata maaf dan terimakasih yang disampaikan dari hati bukan sekadar basa-basi. Biar itu jadi urusan Tuhan penggenggam hati.

 Ibu, aku berhenti berpura-pura. 
Berhenti berharap akan datang seseorang yang mencintaiku apa adanya. 


Aku ingin mulai bertanya, akan mampukan aku menemani seseorang yang meski ia duduk diatas kursi roda, meski ia tak dapat lagi bicara, meski seluruh dunia mengkhianatinya, aku akan tetap memeluknya dan berkata semua akan baik-baik saja?

Rabu, 05 Juni 2013

Is it true that "Money can't buy happiness"?

Percakapan menjelang tidur selalu menyenangkan. Saya yang duduk bersila menghadap ibu dengan televisi dibalik punggung sambil pelan memijit betis kakinya akan menceritakan apa yang saya alami, siapa yang saya temui, dan pelajaran apa yang saya dapatkan hari ini. Kemudian Ayah akan diam-diam mencuri dengar ceritaku dibalik laptopnya sambil sesekali berkomentar pada topik yang sedang saya dan ibu bicarakan. Mungkin salah satu hiburan baginya mendengar celoteh ngalor-ngidul anak pertamanya yang kadang masih kekanakan. Sebetulnya saya tak pernah benar-benar tertarik pada acara televisi, tapi sampai saat ini ruang televisi masih menjadi salah satu ruang favorit saya. Karena disinilah seringkali kami melakukan ritual percakapan sebelum tidur.


"Itu artis yang beli tas satu milyar siapa ya namanya, lupa." Komentar ibuku yang sedari tadi memperhatikan sekelebat tayangan televisi ditengah-tengah percakapanku tentang hari ini.


"Buat apa?"

"Buat dijual lagi katanya."

"Emang ada yang mau beli tas satu milyar?"

"Jangankan tas satu milyar, permen karet yang habis dikunyah pelatih sepakbola terus dimasukkin ke kotak kaca dijual enam milyar pun ada yang mau beli." Ayah yang sedari tadi berkutat dibelakang laptop akhirnya angkat bicara.

"Padahal buat apa ya.. Toh setelah beli itu pun mereka akan tetap merasa ada yang kurang."
Komentarku menyisakan hening sesaat sebelum akhirnya berganti pada topik pembicaraan yang lain.

***

Sebetulnya saya tak satu paham dengan mereka yang mengatakan bahwa uang tak dapat membeli kebahagiaan.Tentu saja uang dapat membeli kebahagiaan. Pertanyaan hanyalah kebahagiaan seperti apa?

Bagi saya strata tertinggi dari kebahagiaan adalah saat saya dikelilingi oleh orang-orang yang bahagia.

Sederhananya, pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang hangat menelusup dibalik hati saat kamu mengeluarkan receh dari kantung seragammu, lalu dibalas dengan senyum polos anak kecil diperempatan saat lampu merah? Pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang mencelos, menyisakan lubang dalam hatimu saat kamu memperhatikan kakek-kakek yang dihujani klakson mobil atau motor saat ia bersusah payah menarik gerobak sampah yang mungkin salah satu kantungnya berasal dari rumahmu?

Seorang suami yang bersusah-susah mencari uang tidak lantas bahagia saat ia menghabiskan uangnya sendirian. Ia akan secara otomatis bahagia saat anak-anaknya lahap, saat anak-anaknya dapat memakai baju yang cantik, dan saat anak-anaknya mendapat fasilitas terbaik untuk pendidikan.

Seorang istri yang menerima uang dari suaminya tidak lantas bahagia saat ia menghabiskan uangnya sendirian. Ia akan secara otomatis bahagia saat suaminya pulang kerumah dan mendapati nasi mengepul dengan lauk yang sepenuh hati disiapkan oleh sang istri.

Seorang anak akan secara otomatis bahagia saat ia dapat mencukupi kehidupan senja orangtuanya. Terlepas dari kewajibannya menjadi anak yang berbakti.

Tapi saya satu paham dengan pepatah yang mengatakan bahwa,
"Someone said 'money can't buy happiness' just because they didn't spent it right."


Bagi saya, hidup sesederhana memberi.

Sabtu, 01 Juni 2013

Life Learner

Diary! Malam ini menulis diary di blog. Jadi tulisan kali ini akan benar-benar seperti diary.

01 Juni 2013.
Quote of the day, "Humankind can't gain anything without first giving something in return. To obtain, something of equal value must be lost." - Concept of The Alchemy. That's first law of Equivalent Exchange.
Yap! Saya belajar bahwa keberhasilan selalu berbanding lurus dengan kadar kepayahan seseorang.

Hari ini seorang dosen mengumumkan hasil ujian. Daaaan jengjeeeng.. Nilai saya jungkir balik. Belum nilai akhir sih, tapi tetep aja bikin kepikiran. Sebetulnya sebelum diumumkan nilai pun saya sudah merasa nilai saya akan jungkir balik. Sebelum ujian, persiapan kurang matang ditambah ada beberapa hal yang membuat saya semakin tidak fokus mempersiapkan ujian. Entah karena merasa diatas angin setelah nilai kuis yang agak 'lumayan'.

Anehnya, walau saya yang merasa sudah tahu nilai saya tidak akan memuaskan, saat mengetahui bahwa nilai saya benar-benar tidak memuaskan, tetap merasakan kesedihan luar biasa.

Lucu kan, bagaimana seseorang tetap menyalahkan keadaan saat mereka sebetulnya paham akan kesalahan yang mereka lakukan?

Tapi sungguh, setiap kejadian bukan kebetulan apalagi sekadar gurauan Tuhan. Pasti dan harus ada pembelajaran. Yah, that's how life works. Akan ada banyak kegagalan didepan nanti, kalau yang sekecil ini saja mampu membuat saya terantuk, tak perlulah menunggu lama untuk terjatuh.

"20tahun dari sekarang, kita akan lebih banyak menyesali apa yang tidak kita lakukan daripada yang kita lakukan--walau itu salah" - Tere Liye

Tak perlu menunggu 20tahun, saya menyesal tidak belajar dengan maksimal beberapa hari lalu :p hehe.

그냥 힘내세요, 우외야 ( 'o')9
Bismillah..

Sabtu, 25 Mei 2013

Penggenggam Hati

Aku pernah merasa begitu terluka saat cinta tak kunjung tiba

Pernah juga merasa begitu kecewa saat rindu tak kunjung reda

Tanpa aku sadar ada cinta dan rindu yang menunggu

Cinta dan rindu yang begitu besar untukku

Lihatlah berapa banyak pengkhianatan telah aku lakukan

Namun tak lantas aku Ia tinggalkan


Sungguh Ia cintai aku tanpa tapi

KasihNya mengalir tanpa henti

deras tanpa tepi


Wahai Penggenggam Hati,

Tumbuhkan cinta dan rindu dalam diri

Agar hilang segala sepi

Agar aku sadar bahwa aku tak pernah sendiri

***

Bandung, 25 Mei 2013
untukMu, aku tak akan pernah pergi. Lagi.

Jumat, 24 Mei 2013

Ibuku, Ibu bermata satu.

Satu demi satu gerimis turun menjilati tanah merah yang sedari tadi kering. Perlahan namun pasti tetesnya lembut menyentuh ubun-ubun kepalaku saat aku masih termangu dihadapan sebuah pusara. Pusara yang didalamnya tertidur tubuh manusia yang paling mencintaiku. Ibu.

***

Ibuku adalah ibu bermata satu, entah sejak kapan.

Wajahnya kini sudah tak lagi cantik. Aku sendiri bahkan tak yakin jika dulu ibu pernah cantik. Kalau ibu cantik, kenapa ayah meninggalkan ibu? Kantung matanya yang terlihat berat semakin diperparah dengan lingkaran hitam dan kulit yang keriputnya tak dapat disembunyikan.

Ibuku berbeda dengan ibu teman-temanku. Ia tak pernah menggunakan bodylotion sehingga kulit tangan dan kakinya yang hitam menjadi kering dan pecah-pecah terkena air detergen murah yang setiap pagi ia gunakan untuk mencuci bajuku. Ibuku benar-benar berbeda dengan ibu teman-temanku. Ia... Jelek.

Siang hari ibu menggunakan waktunya untuk bekerja dikantin sekolahku. Sekolah menengah pertama negeri yang tidak begitu besar dikotaku. Aku tak pernah sekali pun menemuinya apalagi berbincang lama dengannya.

Pernah suatu hari aku marah sekali padanya, saat aku lupa membawa kotak bekalku, ibu mengantarnya sendiri ke kelas tempatku belajar. Ibu berdiri didepan pintu lalu memanggil namaku, seketika itu seisi kelas menengok ke arah pintu, termasuk aku. Hening, sampai ibu menaruh kotak bekal diatas mejaku, tersenyum, kemudian berlalu menuju kantin.

Selepas itu, teman-teman mengerubungi mejaku, mereka bertanya apa betul bibi kantin bermata satu itu adalah ibuku. Kebanyakan dari mereka mengejekku, bahkan beberapa anak laki-laki terang-terangan tertawa dengan keras. Sisanya hanya menatap iba. Sungguh, ibu membuatku marah dan malu sekali saat itu. Tuhan, jika hidup ini adil, kenapa aku harus dilahirkan dari seorang ibu yang jelek dan bermata satu?

Sepulang kerumah aku berteriak pada ibu. Sia-sia sudah usahaku selama ini menyembunyikannya dari teman-temanku. Dan yang paling menyebalkan adalah saat ia hanya bisa menunduk dan berkata "Maaf". Ia hanya membuatku semakin merasa kesal. "Ibu jelek! Aku malu! Kalau bisanya hanya membuatku malu, untuk apa lagi ibu hidup?!". Ia semakin menunduk, dan aku semakin jengkel.

***

Kerja kerasku selama belajar di Sekolah Menengah Atas kemudian berbuah manis. Aku lulus dengan nilai terbaik di kotaku. Tentu saja ini pencapaian yang luar biasa, ditambah pemerintah daerah yang menawarkan beasiswa melanjutkan S1 di universitas terkenal di ibukota. Aku menyambut tawaran itu dengan sukacita, menyiapkan segala keperluan dan segera berangkat dengan bahagia.

Aku tak berpamitan pada ibu, hanya memberitahu seperlunya. Semenjak kejadian kemarahanku, ibu tak pernah banyak bicara. Itu membuatku lebih tenang.

Aku belajar dengan rajin di ibukota, sehingga lulus dengan nilai memuaskan. Tentu saja tawaran pekerjaan dengan gaji yang besar tak sulit aku dapatkan. Begitupun dengan kenangan ibu di kotaku yang kecil dulu, dengan mudah aku lupakan.

***

"Baca dulu." ujar temanku bahkan sebelum aku sempat berkata apa-apa.

Aku kembali mengatupkan mulutku yang tadi hendak bertanya. Masih dengan dahi mengernyit aku menerima surat yang ia berikan. Ia adalah teman dekatku saat masih SMP. Aku bertemu dengannya di kota kecilku dalam acara reuni akbar setelah bertahun-tahun aku tak menginjakkan kaki disini. 

Terlihat kertas itu sudah menguning karena terlalu lama disimpan, bau anyep samar-samar singgah dihidungku. Mataku menangkap pemandangan yang tak asing, sebuah tulisan sambung yang dipaksakan, terlihat jelas bahwa sang penulis jarang menulis surat.


Anakku kesayanganku,
Aku sungguh merindukanmu sepanjang waktu
Maafkan ibu telah membuatmu begitu malu
Ibu hanya ingin bercerita tentang masa kecilmu dulu,

Anakku kesayanganku,
Kau adalah anak yang ceria dan suka tertawa
Kau memiliki mata sabit, seperti mata orang yang tersenyum
Bahkan jika kau sedang merajuk, matamu tetap terlihat manis

Anakku kesayanganku,
Saat kau bermain dengan teman sebayamu, tak sengaja kau melukai matamu
Manalah tega Ibu membiarkanmu tumbuh hanya bermata satu
Aku mendonorkan satu mataku untukmu
Ibu hanya ingin kau dapat meraih cita-citamu tanpa merasa ragu

Aku, yang mencintaimu. Selalu.


***

Ibuku, ibu bermata satu. 
Tak pernah ragu berkorban untuk anakmu. 
Sungguh agung cintamu.
Inilah aku, bersimpuh, menangis disamping makammu,
Mohon ampun darimu.

Tuhan, sungguh hidup ini terlalu adil. 
Mohon ampun, ibu.


Original writing by TakitaBercerita
Re-Write by Me :)

Minggu, 19 Mei 2013

Rahasia

Kau adalah rahasia yang tersimpan dalam kotak-kotak waktu.

Ingin rasanya sekali-sekali aku mengintip ke laul mahfuz.

Bukan nama, status sosial atau bentuk fisik yang ingin kutahu,

Melainkan atas dasar apa cintamu untukku?


***


Terinspirasi dari celetukkan temen yang kemarin sore tiba-tiba nanya,

"Wi, gimana kalau akhirnya jodoh kamu itu aku?"

Saya cuma jawab, "Gak gimana-gimana."

Ya memang saya harus gimana?

Toh, kita gak pernah tahu siapa yang 'akhirnya' jadi pasangan kita.

Mungkin seseorang yang baru kita kenal, atau seseorang yang kita kenal lama.

Mungkin dia yang sekarang dekat, atau dia yang masih jauh.

Mungkin seorang yang sekarang kita senangi, atau malah kita segani.

Ah yang penting satu visi, cukup.

Satu tujuan, cukup.

Allah.

Belut

"Yang paling menakutkan dari tumbuh dewasa adalah menjadi penakut." - @yuuiiw

***

Suasana kampus masih lengang saat aku berjalan dari parkiran menuju lapangan tempat kegiatan perayaan ulang tahun organisasiku dilaksanakan. Kami panitia masih dalam keadaan bersiap, semua hadiah dirapikan, kemudian kembali mengecek peralatan untuk lomba-lomba hari ini sembari tak sabar menunggu peserta datang.

Kami yang terikat dalam Ikatan Mahasiswa Akuntansi gempita menyambut ulang tahun organisasi yang genap berusia sepuluh tahun. Pernah sesekali ada salah satu dari adik tingkat kami yang iseng bertanya,

"Kenapa disebut Ikatan bukan Himpunan?"

"Karena kita terikat tali kekeluargaan. Bukan sekedar sekumpulan orang yang berhimpun mencapai satu tujuan." Jawabku sembarang. Karena jujur saja aku juga tak tahu mengapa disebut ikatan bukan himpunan seperti organisasi lain :p

Semakin lama suasana semakin riuh. Banyak mahasiswa akuntansi lain yang ikut bergabung dalam kegiatan ini. Satu persatu lomba diadakan, semakin diramaikan dengan kehadiran orang-orang yang selalu senang bergurau. Gelak tawa mengisi suasana lapangan.

Aku duduk dipinggir lapang, masih dalam keadaan memperhatikan tingkah teman-teman yang mengundang tawa saat setiap tim yang terdiri dari tiga orang harus masuk ke dalam sarung yang sempit dan lomba lari dengan tim lain. Kaki-kaki yang berhimpitan dipaksakan berlari kemudian terjatuh saling tumpang tindih. Tenang, satu tim tidak boleh terdiri dari lawan jenis, jadi kalau jatuh pun aman. Hehehe..

Dihadapanku, panitia lain tengah menyiapkan peralatan untuk lomba selanjutnya. Sebuah ember abu-abu dengan air yang sudah agak keruh. Aku yang penasaran mendekatkan wajahku mengintip isi ember itu. Belut! Sekitar 20 ekor belut saling mengkelit, kulitnya yang berkilat-kilat terkena sinar matahari semakin memberi efek geli untukku. Aku masih memperhatikan belut-belut yang sesekali mengangkat kepalanya ke permukaan. Semakin aku memperhatikan, semakin aku merasa takut, atau jijik, atau geli, ah apapun. Pokonya tak terbesit rasa ingin menyentuh belut-belut itu. Apalagi harus memindahkannya kedalam botol.

"Teteh mau ikut lomba belut?" Salah satu adik tingkatku yang ikut berjongkok dipinggir ember menawarkan pendaftaran lomba.

"Ah, engga. Bau amis. Hehe." Kilahku tak yakin itu alasan yang jujur atau bukan.
"Fika mau ikut ga?" Aku malah bertanya balik.

"Engga ah, geli. Hehehe.. Padahal dulu, waktu kecil, aku sering ikut lomba belut loh, teh. Malah sering menang. Sekarang ga mau ah hahaha."

Hey! Dulu juga aku suka main lomba belut. Saking seringnya menang, aku bahkan bisa mengajarkan teman-temanku bagaimana cara menangkap belut yang baik agar belut tidak mudah terlepas dari genggaman. Tapi siang ini, aku malah ciut. Lihat kepala belut rasanya jadi ngeri, belum lagi licin, belum lagi bau amis.

Ya Tuhan, baru aku sadar seiring berjalannya waktu ternyata banyak yang berubah. Bukan hanya tinggi tubuh yang bertambah beberapa centi atau berat tubuh yang bertambah beberapa kilo, tapi juga semakin banyaknya perubahan dalam menyikapi dan menghadapi sebuah keadaan.

Aku yang mungkin sepuluh tahun lalu, tak pernah berpikir tentang bau amis atau kepala belut sekarang malah tak berpikir tentang betapa asiknya main belut basah-basah sambil tertawa seperti sepuluh tahun lalu.

Inikah aku yang dewasa? Bukan aku yang kekanakan sepuluh tahun lalu? Yang aku tahu, kebanyakan dari orang dewasa takut dalam mengambil keputusan. Terlalu banyak menimbang-nimbang resiko, kemudian memutuskan untuk tidak mengambil keputusan. Jalan ditempat.

Lantas, inikah aku yang dewasa?

***


Ya Rabb, 
jadikanlah waktu yang pergi sebagai proses pendewasaan,
proses perubahan,
dari kemarahan menjadi kesabaran,
kekecewaan menjadi harapan,
masalah menjadi tantangan.
Aamiin.

Selasa, 14 Mei 2013

Yang Biasa Saja

Yang biasa saja.

Cukup ia tahu aku ada.
Cukup aku tahu ia ada.

Yang biasa saja.

Nyaman dalam diam.

Yang biasa saja.

Tak menyerah pada keadaan.
Apalagi pada aku yang serba kekurangan.

Yang biasa saja.

Melukis, bukan menulis.

“Orang boleh pandai dalam setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” - Pramoedya Ananta Toer


Saya menulis, ah bukan, saya melukis. Melukis pemandangan dengan kata sebagai kuasnya.

Saya mulai menulis berawal dari semakin riuhnya kata-kata yang hilir mudik dipikiran saya selama ini. Kata-kata yang saya temukan dari buku yang saya baca, dari curahan hati teman tentang pujaan hatinya, dari posting twitter, dari baligo-baligo aktifis tentang perjuangan, dari mana saja.

Tapi dari semua kata itu, hanya beberapa yang bisa dituangkan dalam tulisan, sisanya terlupakan. Mungkin terbang dibawa angin saat perjalanan pulang atau terbawa air mandi sebelum tidur.

Saya merangkai kata-kata yang saya temukan seperti remaja perempuan yang sedang gemar-gemarnya memadupadankan pakaian dan rok-rok panjang supaya sedap dipandang.

Setiap kali saya menulis, saya memuntahkan semua yang ada dalam pikiran saya, seperti teko berisi air yang ingin menuangkan air pada gelas-gelas kosong. Kemudian siap diisi oleh air yang baru. Saya menulis sesuka saya. Sampai saya puas. Sampai saya merasa lega. Hampir tidak peduli dengan waktu, tidak peduli dengan apa pendapat pembaca. Saya hanya ingin menulis, melukis pemandangan, perasaan, lewat kata, sesuka saya. Sesuka saya.

Sampai beberapa minggu lalu saya kebetulan mengikuti sebuah seminar tulis yang narasumbernya adalah salah satu penulis favorit saya. Yaitu, Darwis Tere Liye. 

Dalam salah satu sesi beliau bertanya, untuk apa menulis?
Saya sendiri belum tahu, untuk apa saya menulis?

Seumpama kamu mandi, untuk apa kamu mandi? Supaya badan kamu tidak bau. Tapi ternyata manfaat kamu mandi juga dirasakan oleh orang-orang sekitarmu. Misalnya, mereka jadi tidak perlu bersusah-susah menghirup udara tidak sedap yang berasal dari bau tubuhmu.

Jadi, untuk apa saya menulis? 
Apa manfaat yang akan dirasakan oleh orang-orang yang baca tulisan saya?

Kemarin, seseorang menyampaikan pesan pada saya lewat aplikasi Whatsapp, "Setelah baca tulisan kamu, aku jadi semangat nulis lagi nih."

Luar biasa! Saya baru sadar bahwa strata tertinggi dari kebahagiaan seseorang yang menulis adalah menularkan semangat menulis! Saya ingin lebih banyak lagi menebar manfaat lewat tulisan.

Lantas, bagaimana caranya menulis?
Tidak ada solusi lain untuk menulis selain, mulailah menulis.

Bagaimana bisa sebuah teko mengisi gelas-gelas kosong, sedang teko itu sendiri kosong?

Membaca;
Mengamati tempat, keadaan atau kegiatan dengan detail;
Mendengarkan cerita, pendapat, sudut pandang seseorang.

bisa menjadi alternatif untukmu memulai sebuah tulisan.
Apa saja.
Sesukamu.




Kalau ingin memiliki materi yang diberikan bang Tere Liye, bisa diunduh disini.

Go write and shine! :)


*****

Jumat, 10 Mei 2013

Pelangi

Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk berkutat didepan sebuah monitor komputer berukuran 21 inch dengan raut wajah serius. Sesekali pandangannya beralih ke sebuah laptop macintosh disebelah kanan monitor, tangannya sibuk menggeser-geser dan menekan mouse sedangkan kepalanya kadang mengangguk-angguk seperti tengah menimang-nimang sesuatu dengan seksama. Aku miringkan tubuhku sedikit ke sebelah kiri, mengintip kearah monitor komputer, kemudian sebuah sketsa yang belum sepenuhnya diwarnai menyembul diatasnya. Sejak hari pertama ia mengenalkan diri padaku hingga hari ini, banyak yang tak aku mengerti tentangnya ataupun tentang dunianya. Aku tak mengerti apa kegunaan khusus layar besar dan laptop canggih itu. Aku tak mengerti sketsa apa yang sedang ia gambarkan. Tidak mengerti kenapa hapir sebagian besar sketsanya selalu ada pelangi. Yang aku mengerti hanya, ia menikmatinya. Desain grafis.

"Udah selesai baca bukunya?" Tanyanya tiba-tiba, seakan tahu aku memandangi punggungnya sedari tadi.

"Eh? Belum. Masih sedikit lagi." Aku tersenyum malu, merasa tertangkap basah sedang mengaguminya. Seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Entah sejak dan sampai kapan.

Aku melepas kacamataku lalu menyelipkan pembatas buku dihalaman terakhir aku membacanya, pembatas buku berupa daun kering yang sembarang aku ambil saat kami berlibur menikmati musim gugur di Jepang. Oh baiklah, aku yang berlibur sedangkan suamiku bekerja untuk salah satu perusahaan animasi.

"Pelangi lagi?"

"Iya," sahutnya lembut. Sebuah senyum terbit dari bibirnya, tipis saja.

"Selama ini, kamu gak pernah cerita kenapa kamu suka pelangi?"

Ia menghentikan tangan kanannya dari kesibukan menggeser-geser mouse, lalu membalikkan punggung dan mendapatiku dengan wajah antara berpikir heran dan memelas minta penjelasan. Dipandangi agak lama, ternyata membuatku grogi juga, padahal sudah lebih dari setengah tahun semenjak kami menikah. Ia menarik nafas panjang lalu mengedarkan pandangannya ke langit-langit ruang kerja kami.

"Karena menurutku, kita harus menjalani hidup seperti pelangi."

"Maksudnya? Penuh warna?"

"Emm.. Iya, tapi bukan cuma itu. Kamu tahu gimana proses terjadinya pelangi?"

"Aku bukan anak IPA." jawabku asal.

"Hehe maaf, pelangi itu terjadi karena pembiasan cahaya oleh butir-butir air. Ketika cahaya matahari melewati butiran air, ia membias seperti ketika melalui prisma kaca kemudian dari tetes-tetes air tersebut muncullah warna yang berbeda tergantung panjang gelombangnya."

Aku mengangguk-angguk takzim, "Terus?"

"Sederhananya gini, pelangi hanya bisa dilihat saat hujan bersamaan dengan sinar matahari. Tapi kenapa pelangi tidak selalu terlihat oleh kita? Karena untuk melihat pelangi, posisi kita harus menghadap tetesan air sedangkan matahari tepat dibelakang. Kita harus berada diantaranya.

Sekarang apa hubungannya dengan menjalani hidup? Anggaplah matahari adalah kesulitan dan tetes hujan adalah kemudahan. Jika kita menjalani hidup hanya dengan sibuk memikirkan kesulitan, tentu hanya nelangsa yang kita rasakan. Jika kita menjalani hidup dengan sibuk memikirkan kemudahan, kita bisa menjadi seseorang yang sombong dan arogan.

Coba kita jalani dan nikmati hidup diantara keduanya, tentu yang kita dapat adalah keindahan. Warna-warni dari kesulitan dan kemudahan."

"Subhanallah.." lirihku.

Setengah tahun kami jalani, tak satu hari pun ia lupa membuatku jatuh hati lagi padanya. Seperti hari ini misalnya. Terimakasih..



***TAMAT***


Kata kunci: Pelangi (Yuliani)

Rabu, 08 Mei 2013

Bluetooth V21.1 System

Tampias air kecil-kecil yang terpantul dari bebatuan air terjun ini mulai membuat wajah dan rambutku kuyup, membuat aku nampak seperti habis mandi. Walau begitu, aku masih asik duduk-duduk sambil mencelupkan kakiku di atas sebuah batu berukuran sedang dipinggir sungai Biskori, Sulawesi. Kupejamkan mataku, mencoba menikmati suara gemuruh air terjun Moramo dan menghirup bau daun basah disekelilingku. Semakin lama aku memejamkan mata, air yang dingin dikakiku mulai terasa surut. Bau daun basah yang kuhirup sedetik lalu berubah menjadi wangi lavender. Bahkan kini suara air terjun tujuh tingkat itu berdengung tak tentu ditelingaku perlahan berubah menjadi bunyi alarm. Semua yang tadi kulihat, lambat namun pasti lenyap menjelma sebuah langit-langit putih. Dahiku berkerut, sedikit kecewa karena kini aku tengah terbangun dikamarku. Ternyata hanya sebuah bunga tidur.

 ***

Aku melangkahkan kaki cepat menghampiri sebuah mesin kecil berbentuk kotak berwarna biru safir yang menggantung diruang kerjaku. Aku meletakkan jempolku pada mesin itu kemudian memejamkan mata sejenak. Sebuah layar besar disampingku tak lama menampilkan sederet huruf "Success". Aku menghela nafas lega, hampir saja aku terlambat menyetorkan deadline tulisanku hari ini. Perkenalkan, aku adalah seorang pendongeng, orang-orang disekelilingku sering menyebutku penulis. Walau sesungguhnya aku tidak benar-benar menulis, karena masyarakat kota kami tak pernah lagi menggunakan kertas seperti yang orang jaman purba lakukan. File yang aku kirim tadi akan diterima oleh tim editor ditempat kerjaku kemudian dengan cepat disebarkan pada seluruh masyarakat kota yang akan mereka terima melalui Bluetooth V21.1.

Setiap tubuh bayi yang baru lahir dikota ini, akan ditanamkan sebuah software super kecil yang kami sebut Bluetooth V21.1 dilengkapi sebuah mesin berukuran saku seragam anak sekolah sebagai layar kontrol. Bluetooth V21.1 adalah sebuah software yang dikembangkan oleh pemerintah kota untuk kami berbagi. Berbagi apapun. Mulai dari informasi, upah kerja, tugas sekolah, sampai hal-hal yang menyangkut perasaan seperti kasih sayang, kami bagi lewat software ini.

Udara pagi ini terasa lebih dingin dari kemarin, agaknya dinas daerah yang mengatur cuaca kota kami mendatangkan musim dingin terlalu cepat. Tapi aku tetap memutuskan untuk berjalan-jalan keluar rumah. Gemeletuk sepatu hak tinggiku menelusuri trotoar. Aku mengedarkan pandangan, terlihat pohon-pohon yang daunnya sudah mulai berubah warna seiring datangnya musim dingin. Jika kau datang ke kota kami, cobalah dekati dan sentuh salah satu pohon itu. Sebenarnya pohon-pohon itu terbuat dari plastik yang wangi dan warna daunnya dapat kami setting. Namun hanya dinas daerah yang berhak merubah-rubah setting setiap pohon dikota kami. Pohon yang asli sudah lama punah. Aku baru mengetahui bahwa pohon yang sebenarnya itu tidak terbuat dari plastik semenjak belajar pelajaran biologi di sekolah menengah. Sebelumnya, aku tak pernah tahu.

Berjalan-jalan seperti ini biasanya aku lakukan saat sedang membutuhkan inspirasi untuk naskah dongengku selanjutnya. Atau seperti saat ini, sekedar meregangkan otot-otot tubuh setelah semalaman menyelesaikan dongeng tentang negeri antah berantah yang aku beri nama Indonesia. Pada negeri itu, aku menceritakan sebuah alam yang indah. Masih banyak hutan dengan pohon-pohon yang daunnya berwarna hijau segar. Didalam hutan itu banyak binatang yang berbahaya seperti harimau, ular, serigala sampai yang tidak berbahaya seperti kera dan rusa. Musim di negeri ini berubah dengan sendirinya sesuai waktu tanpa ada campur tangan manusia. Air bersih dapat ditemukan dimana saja, udara yang segar pun dapat kita hirup setiap hari.

Aku tersenyum kecil mengingat kembali dongeng yang baru saja aku kirimkan pada editor tempatku bekerja. Inilah kenapa aku memilih menjadi seorang pendongeng. Aku bisa menceritakan tentang apa saja, semauku. Bahkan tentang negeri antah berantah yang tak masuk akal kebenaran dan keberadaannya.


***TAMAT***


Jika kau mulai bertanya, apa Tuhan cukup adil?
Jika kau mulai meragukan, apa Tuhan cukup baik?
Jika kau mulai mencemaskan, nikmat apa yang telah Tuhan beri untukmu?
Berkunjunglah sekali-kali ke negeriku. Indonesia.



Kata kunci: Bluetooth (Indriyani Octavia)

Senin, 06 Mei 2013

Kiri dan Kanan

Terkisah hiduplah dua orang anak laki-laki kembar pada sebuah pedesaan, mereka bernama Kiri dan Kanan. Layaknya anak kembar lain, sedari kecil mereka selalu disama-samakan dalam berbagai hal. Mulai dari pakaian sampai perhatian orang tua terbagi sama. Kemanapun Kiri pergi, pasti ada Kanan. Apapun yang dilakukan Kanan, tak pernah tanpa Kiri. Karena dilahirkan identik, apabila salah satu dari mereka sakit, yang lain pasti ikut merasakan sakit.

Hingga pada suatu senja, mereka kedatangan tamu dari kota. Salah satunya adalah cucu Kek Atuk yang rumahnya hanya beberapa langkah saja dari rumah Kiri dan Kanan. Anak laki-laki itu berperawakan kurus dan cukup tinggi pada seusianya. Sore itu mereka bermain sangat seru, mulai dari main mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali milik Kiri dan Kanan sampai main perang-perangan bersenjatakan pistol dari bambu.
Anak dari kota itu sangat senang bermain dengan Kiri dan Kanan, sampai sebelum pulang, anak itu memberikan sebuah mobil-mobilan yang terbuat dari bahan kaleng. Konon, harga mainan ini sangat mahal. Dan tentu saja hanya bisa dibeli di kota.

Kiri yang merupakan kakak beberapa menit dari Kanan merasa ia yang harus memiliki mainan itu. Sedang Kanan yang merasa seorang kakak seharusnya mengalah, malah menangis sejadi-jadinya saat Kiri mengambil mobil kaleng dari tangan Kanan. Satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada satu pun yang mau meredakan egonya. Masing-masing merasa berhak atas mainan itu dibanding saudaranya yang lain. Mereka kini saling berebut, saling tarik-menarik mobil-mobilan kaleng tersebut. Yang terjadi bukannya salah satu dari mereka menang, malah mobil itu terjatuh dan penyok di bagian bannya. Sehingga sulit dijalankan karena bannya kini tidak bulat sempurna.

Kiri mulai menyalahkan Kanan atas kejadian penyoknya mobil kaleng itu. Kanan yang merasa itu bukan salahnya, malah balik menyalahkan Kiri. Satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada satu pun yang mau meredakan egonya. Masing-masing merasa berhak atas mainan itu dibanding saudaranya yang lain. 

Sejak saat itu, Kiri dan Kanan tak pernah satu jalan.


***TAMAT***

Itulah kenapa saat ini kita tidak pernah bisa memilih kiri dan kanan pada saat bersamaan.


Kata kuci: Kiri dan Kanan (Yuliani)

Minggu, 05 Mei 2013

Peduli (?)

Kebanyakan dari kita bukanlah orang jahat. Sebagian besar hanya peduli pada dirinya sendiri. Apa yang salah dengan hanya peduli pada diri sendiri? Toh ketidakpedulian bukan bentuk kriminalitas. Lantas, kenapa tidak mencoba berhenti untuk peduli?


Sudah berkali-kali aku menekan nomor yang itu-itu lagi, namun acapkali yang kudengar hanya suara operator menjawab datar setiap panggilanku. Sungguh, yang paling melelahkan dari menunggu adalah saat tak ada yang dapat memastikan dimana ujung lorong penantian. Kubanting pelan tubuhku ke atas kasur, antara lelah dan pasrah.

Sekilas kulirik jam dinding biru langit yang menggantung persis diatas tempat tidurku, jarum pendeknya menunjuk angka sebelas sedang jarum detik bergerak lebih lambat dari biasanya.


"Gak bisa tidur nih." Sebuah pesan pendek aku kirimkan pada teman lewat jejaring media sosial yang tak memakan waktu banyak untuk mendapat balasan.

"Kenapa?"

"Nunggu adik, belum pulang."

"Mungkin kejebak macet atau ada urusan penting."

"Mungkin. Kenapa ya kita harus punya kepedulian sama orang lain?"

"Yaelah, jangan mulai melankolis deh. Ya, because you love her."

"Kalau itu sih gue juga tau. Ke orang yang bukan keluarga beda kasus dong?"

Setelah agak lama aku tatap layar telepon genggamku, akhirnya lampu led di ujung kanan telepon genggamku berkedip tanda masuk pesan baru.

"Hmm... Mungkin... Karena lo ga akan pernah berhenti mencintai seseorang. Walau ingin. Udah ah, ngaco nih. Gue ngantuk. Bye."

"Mungkin."

Sabtu, 13 April 2013

Duniaku, transisi.

Curahan pagi hari, dengan secangkir kopi dan sekeping hati yang sejak tadi sunyi. Jika dalam setiap mata ada dunia, duniaku pastilah transisi. Sisa hujan tadi malam masih meninggalkan tanah basah, sedang langitnya cerah. Sinar matahari menyeruak masuk lewat sela jendela satu-satunya.

Saat-saat seperti ini tak jarang kegelisahan datang tanpa permisi. Kata demi kata, tanya demi tanya datang berbondong-bondong, saling berdesakan, berebut minta perhatian. Menyisakan aku yang kebingungan. Menjawab pertanyaan hati dengan sembarang.

Tak bisa kutakar rasa rindu yang datang tanpa basa-basi, berkarat dalam hati. Mereka bilang, hidup adalah persimpangan. Ada berbagai jalan dan pilihan untuk mencapai tujuan. Hanya saja mereka lupa menjelaskan tentang perjalanan seperti apa yang harus aku tempuh. Lagi-lagi hanya menyisakan aku yang kebingungan. Tak menggubris erangan hati yang kian linu.



Hingga Kau datang dengan caraMu tunjukkan jalan.
Kau janjikan kesejukkan.
Kau datang sebagai jawaban atas segala keingintahuan.
Meredam semua kegelisahan.

Mohon, jangan biarkan aku melangkah menjauh dari petunjukMu. Lagi.



*****


Di tengah tunduknya hati ini
Mohon tanamkan iman disini
Agar tiada ragu aku berkata,
"Kau tiada terdua"
 (Rakhmat Fajar - Kau Tiada Terdua)


Minggu, 24 Februari 2013

Gerak dan Diam

Sekilas aku melihatnya sedang menunduk khusyu' membaca buku yang mungkin baru saja ia beli lewat toko buku online atau hanya sekedar buku pinjaman dari cafe buku ini untuk membunuh waktu demi menungguku. Oh, baiklah aku terlambat lagi. Bahkan kali ini, saat aku yang memintanya untuk bertemu setelah satu minggu aku mencari-cari alasan yang tepat untuk mengajaknya pergi. Ssungguh, demi apapun yang ada di langit, aku rindu berbincang dengannya. Walau sebenarnya aku lebih banyak mendengarkannya bercerita, karna aku rasa ia punya lebih dari cukup cerita untuk aku simak. Tuhan, aku hanya rindu. Berdosakah?

"Hai." aku menyapanya masih dengan sarung tangan dan jaket yang belum kulepas setelah terburu-buru memarkirkan motorku tepat disebelah cafe buku tempat kami berjanji untuk bertemu.

Ia mendongakan kepalanya, lalu tersenyum. Lebar. Itu membuatku sedikit lega, karena ia tidak marah. Terimakasih pada otakku yang semalam memilih untuk bertemu di cafe buku, setidaknya buku bisa benar-benar mengalihkan dunianya, bahkan sama sekali tidak keberatan jika aku datang terlambat jauh lebih lama dari yang kulakukan sekarang.

"Maaf ya, lama."

"Gak apa-apa. Hehe. Ada ini." sahutnya sambil sedikit mengangkat buku ditangan kanannya, yang kini dalam keadaan tertutup namun diampit oleh jari telunjuk dihalaman terakhir ia membaca.

Kemudian seperti biasa aku hanya mengangguk, lalu tersenyum seadanya.

Ya, inilah aku dan takdirku yang tak pernah tahu bagaimana cara menunjukan bahwa sungguh saat ini aku bahagia bisa duduk berdua dengannya. Siap mendengar semua kisahnya. Siap sekali lagi menikmati senyumnya.

Ia menaruh buku disampingnya. Menurunkan tas dari atas meja kesamping tempat duduknya.

"How's life?" kini ia sedikit mencondongkan tubuhnya padaku dengan senyum jahilnya.

"Biasa."

"Udah move on belom? Ahaha."

"Move on itu yang gimana?"

"Move on itu bergerak maju. Masa gak tau?"

"Enggak."

Ia menatap mataku agak lama, yang dulu sering dilakukannya. Entahlah. Karena ia tak pernah tahu apa yang ada dalam pikiranku, begitu katanya.

"Oke! Aku kasih tau. Einstein pernah bilang kalau hidup ini seperti bersepeda. Kita harus terus bergerak agar tidak 'terjatuh'. Nah, bicara soal gerak, Aristoteles bilang bahwa dalam bergerak perlu ada teologis-nya. Teologis itu berasal dari kata telos yang artinya tujuan. Jadi kalau kamu gak mau "jatuh" kamu harus terus bergerak menuju tujuanmu. Selain perlunya teologis, bergerak juga ditunjang dengan adanya kehendak atau kemauan. Percuma kalau kamu punya tujuan tapi gak punya kemauan. Gitu loh."

Aku hanya ber "oh" panjang sambil sesekali mengangguk.Ia membetulkan letak kacamatanya,

"Nah, beda lagi kalau kata Newton, beliau bilang benda yang diam pun sebenarnya bergerak. Mereka bergerak menahan gravitasi bumi. Terus Newton juga bilang, kalau benda yang diam sebenarnya adalah benda yang bergerak secara konstan."

"Hah? Maksudnya?"

"Haha. Bingung ya. Gini, kita tahu bumi ini bergerak kan? Tapi kita gak ngerasain geraknya, seakan-akan bumi ini diam. Karena bumi bergerak konstan dengan kecepatan yang sama dan secara terus-menerus."

"Hmm.."

"Jadi kalau sampai sekarang kamu merasa bergerak, tapi pergerakannya masih begitu-begitu saja, itu berarti kamu belum move on. Ahaha."

Ia tertawa. Tawanya masih seperti dulu. Mata sabitnya saat tertawa masih seperti dulu. Saat ia masih milikku.

"Duh jadi kemana-mana nih ngomongnya. Gimana? Udah beres desainnya?"

"Oiah." sesuatu mencelos didadaku ketika mengingat alasan aku bertemu dengannya kali ini. Kukeluarkan laptop yang beberapa tahun ini tak pernah lupa kubawa.

Kubuka dokumen dengan judul, "Desain Kartu Undangan".

Kurang dari dua bulan lagi, berdosalah aku jika mengingatnya.


 *****


Cinta tak mungkin berhenti secepat saat aku jatuh hati
Jatuhkan hatiku kepadamu sehingga hidupku pun berarti
Cinta tak mudah berganti, tak mudah berganti jadi benci
Walau kini aku harus pergi tuk sembuhkan hati

- Tangga

Minggu, 17 Februari 2013

Alone

I like drinking coffee alone, and reading alone.
I like riding the bus alone, and walking home alone.

It gives me time to think, and set my mind free.

I like eating alone, and listening to music alone.

But when I see a mother with her child, a girl with her lover, or a friend laughing with their best friend, I realize that even though I like being alone, I don't fancy being lonely.

The sky is beautiful, but people are sad,
I just need someone who won't run away.



Reblogged this from @miramiwa

Sabtu, 19 Januari 2013

Serupa Apa Wajah Kebenaran?

Suatu nanti, akan aku temui serupa apa wajah kebenaran.

Bukan hendak berterimakasih. Apalagi memberi kasih. Hanya sekedar ingin tahu bagaimana hidupmu selama ini. Itu saja.

Akan aku temui mataku dalam matamu, kurasa. Atau bentuk hidungku. Atau alis. Ah entahlah. Aku hanya ingin tahu, serupa apa wajah kebenaran.

Setelahnya, bolehlah kita kembali menjalani yang seperti biasa. Lalu berpura tidak tahu apa-apa.

Aku bahagia, kuharap kau pun bahagia. Sekali lagi, ini buka rindu, hanya sekedar ingin tahu.

Saat sosok yang tak bisa kaubayangkan mengusir kantukmu.

Published with Blogger-droid v2.0.9

Aku, Kejora.

Ibu Rika bilang, sukarelawan yang sering datang kesini adalah mahasiswa-mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa. Aku tak banyak mengerti, yang aku tahu mereka selalu mengajar anak-anak yang luar biasa. Seperti aku.

*****

Anak ombak yang saling mengejar terdengar semakin deras berdebur. Kurapatkan jaket, sebelum angin pantai menelusup tengkuk dan meremangkan bulu kuduk. Kini, semburat jingga dan ungu muda pasti sedang menghiasi permukaan laut serupa memancar bayang langit senja pulau Bawean. Aku menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, rasanya sangat menyenangkan.

Langkahku semakin bersemangat ketika riuh canda tawa anak-anak yang masih sangat muda mulai sayup terdengar. Belum sampai aku pada sebuah gubuk panggung tanpa bilik tempat anak-anak itu berkejaran, kehangatan sudah menjalar dalam tubuhku, meski penerangan yang kami miliki hanya dua buah petromak yang menggantung pada sudut kayu penyangga gubuk tersebut.

"Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumsalaaaam. Ibuuuu!"

Seketika senyumku pecah.


*****


"Ibu, Kejora mau tanya."

"Sebentar ya, ibu sedang sibuk. Sebentar ya."

"Kejora cuma mau tanya sebentar aja, ibu."

"Tapi ibu sedang sibuk, kakak-kakak sukarelawan sudah menunggu."

"Satu pertanyaan saja ibu."

"IBU BILANG SEBENTAR, KEJORA!"

"Kenapa Kejora tak punya Ayah, Bunda?"

Pecah juga pertanyaan yang tak bisa lagi kupendam rasa ingin tahu atasnya. Dari sekian banyak pertanyaan yang selalu melintas dikepalaku setiap kali aku terduduk diatas ayunan dari ban bekas depan panti selepas sholat isya, satu pertanyaan inilah yang paling mengganggu. Pertanyaan yang paling sering aku tanyakan pada Pemilik Langit, "Kenapa Kejora tak punya Ayah, Bunda?". Dan kali ini aku membuat Ibu Rika marah, Ibu pemilik panti yang senantiasa selalu menyayangi dan menjagaku entah dari kapan, kini kubuat marah karena satu pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawab meski setiap kali berkah turun dari langit, berulang aku lirihkan pertanyaan yang sama. Yang itu-itu lagi.

Kutundukkan kepalaku dalam-dalam, siap dengan semua amarah yang akan aku terima karena rasa ingin tahu yang semakin hari semakin membuncit. Kudengar Ibu Rika menghentikan kegiatannya dengan kertas-kertas diatas meja, namun tidak juga menjawab pertanyaanku. Hanya sunyi.

"Maaf ibu, Kejora nakal. Maaf."


*****


Sebuah tangan mengelus lembut jilbabku, dan aku masih menekuk dalam-dalam kepalaku. Ternyata menahan air yang terlanjur mengembun dimata hanya akan meninggalkan sakit, seperti menelan biji mangga yang tersangkut dikerongkongan.

"Saat itu gerimis. Ketika teman ibu mengantarkanmu ke panti ini. Kejora masih sangat kecil, hanya berumur beberapa hari. Jari-jari tangan dan kaki kejora yang kecil menggulung karena kedinginan.

"Teman ibu bilang, Bunda meninggal beberapa jam setelah melahirkanmu karena rahimnya yang lemah. Sedangkan Ayah sudah lebih dulu mendahului Bunda 5 bulan sebelum kau lahir, karena kecelakaan kerja ditempat proyeknya. Mereka berdua sangat menyayangimu, Kejora. Kau tahu itu kan?"

"Iya, ibu." pipiku sudah basah ketika kata gerimis keluar dari mulut ibu Rika. Tangan-tangan itu kini merangkul tubuhku.

"Kau tahu, mengapa ibu memberimu nama Kejora?"

Aku hanya menggeleng lemah tanpa sedikitpun mengangkat wajahku dari pundaknya.

"Karena ibu tahu suatu saat nanti kau akan menjadi bintang yang paling terang dilangit, kemudian menjadi penunjuk jalan pulang bagi siapapun yang tak tahu kemana harus melangkah."

"Apa bintang Kejora itu, indah bu?"

"Sangat indah."

Tangisku perlahan mereda. Aku mulai bisa mengatur nafasku yang sedari tadi tersengal.



*****



Satu persatu anak-anak itu menyiumi punggung tanganku. Perlahan aku menaiki tangga gubuk panggung tersebut. 3 buah anak tangga yang sudah kuhapal betul letaknya, sehingga aku tidak pernah lagi terjatuh seperti beberapa hari pertama aku mengajar.

"Para khalifah, sudah siap mengaji kan hari ini? Sudah siap mencari ilmu?"

"Siiiaaaap!!"

Kukeluarkan Al-Qur'an Braille yang kudapat dari kakak-kakak sukarelawan yang sering mengunjungi panti dulu.  

"Bismillah.."




*****


"Ibu, apa betul di Surga kita bisa pinta apa saja?"

"Iya. Memang Kejora mau minta apa?"

"Kejora ingin lihat Ayah dan Bunda."

 *****

"Saat senja tiba pada awal bulan juli, cobalah tengok langit sebelah barat. Walaupun belum sepenuhnya gelap, sebuah bintang cemerlang tampak cukup tinggi menggantung. Awan tipis musim kemarau ini tak mampu membendung sinarnya. Itulah bintang kejora."

Kamis, 17 Januari 2013

Perubahan

"Aku tak pernah menyesali satu apapun dari semua yang telah terjadi dalam hidupku. Karena penyesalan hanya dirasakan oleh orang-orang yang tak pernah berubah." - Yuliani

*****

Baiklah, malam ini saya hanya mau menulis. Bukan menulis sajak. Hanya mau menulis

Tentang perubahan.

Beberapa hari yang lalu salah satu sahabat saya bercerita tentang perubahannya. Keinginan untuk konsisten dengan perubahan yang telah ia putuskan. Haru. Sungguh terharu dengan keptusan yang ia ambil. Hampir saja ingin menangis ditempat kalau tidak mengingat saya sedang dalam suatu kegiatan diluar rumah.

Manusia sempurna karena akalnya. Ciri dari manusia adalah bisa berpikir. Dan hasil dari berpikir adalah perubahan. Walaupun cara dan jalan yang ditunjukkan oleh-Nya berbeda-beda dalam setiap proses perubahan namun tetap tujuannya hanya satu. Mendekatkan diri pada-Nya.

Malam itu, saat kabar bahagia itu saya dapat dari seorang sahabat, saya ditegur melalui kegiatan yang saya ikuti. Dari semua pertanyaan, ada satu pertanyaan yang benar-benar mengetuk satu pintu yang rasanya sudah lama tertutup rapat, "Mau dikenang sebagai siapa saat nanti kematian menjemputmu?" 

Termangu lama. Kemarin, rasanya terlambat untuk semua perubahan. Rasanya terlalu lama dan rapat pintu itu tertutup. Hingga pertanyaan itu seakan menyadarkan, selama kematian belum menjemputmu, tidak ada yang terlambat.

Saya ingin dikenang sebagai,

Seorang anak yang selalu membuat orangtua saya tersenyum bangga.
Seorang istri yang hingga akhir hayat menjaga kehormatannya.
Seorang ibu yang lembut dan penyayang bagi anak-anaknya.

Terlambatkah?

Tak akan pernah jika dimulai dari sekarang.


"Rasa sayang bukan tentang perasaan bahagia saat melihat ia bahagia. Tapi bahagia melihat ia lebih baik dari sebelumnya." - Yuliani


(peluk para sahabat)

Halo, sahabat.

Inilah aku dan malam-malamku. Saat bintang yang menggantung dilangit sebelah timur hanya samar-samar terlihat. Menyisakan dongeng tentang bintang jalan pulang dan rindu yang teramat sangat. Kerinduan akan hujan dan kolong panggung. Lutut-lutut yang dilipat berhimpitan. Seragam-seragam yang basah dan bau keringat. Atau tentang tawa yang dikulum menghadapi teriak para senior. Juga tentang degup sesaat sebelum waktu yang menentukan sekali dalam seumur hidup.

Tentang para sahabat.

Sahabat. Menahan rindu tak lagi semenyenangkan dulu. Biar satu senyum diwajahmu menjadi pereda bagi perih dalam lambungku.

Sahabat. Ceritakan lagi padaku tentang mimpi-mimpimu. Aku hanya ingin kita bertemu, duduk bersama dan mendengarkan semua kisahmu.

Sahabat. Tahukah kau bahwa kita adalah satu? Walau dalam 365hari hanya ada satu waktu dan satu tempat kita saling beradu rindu. Bercerita tentang angan dengan terburu-buru. Setelahnya, kau dan aku hanya saling mengamati dari jauh

Sahabat. Kau dan aku pernah saling membutuhkan pundak untuk bersandar. Sekedar supaya kita sadar bahwa diam dan sunyi bukan berarti sepi. Kau dan aku, sunyi bukan sepi.


Apa kabar sahabat?

Aku rindu, rindu teramat sangat.