Selasa, 14 Mei 2013

Melukis, bukan menulis.

“Orang boleh pandai dalam setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” - Pramoedya Ananta Toer


Saya menulis, ah bukan, saya melukis. Melukis pemandangan dengan kata sebagai kuasnya.

Saya mulai menulis berawal dari semakin riuhnya kata-kata yang hilir mudik dipikiran saya selama ini. Kata-kata yang saya temukan dari buku yang saya baca, dari curahan hati teman tentang pujaan hatinya, dari posting twitter, dari baligo-baligo aktifis tentang perjuangan, dari mana saja.

Tapi dari semua kata itu, hanya beberapa yang bisa dituangkan dalam tulisan, sisanya terlupakan. Mungkin terbang dibawa angin saat perjalanan pulang atau terbawa air mandi sebelum tidur.

Saya merangkai kata-kata yang saya temukan seperti remaja perempuan yang sedang gemar-gemarnya memadupadankan pakaian dan rok-rok panjang supaya sedap dipandang.

Setiap kali saya menulis, saya memuntahkan semua yang ada dalam pikiran saya, seperti teko berisi air yang ingin menuangkan air pada gelas-gelas kosong. Kemudian siap diisi oleh air yang baru. Saya menulis sesuka saya. Sampai saya puas. Sampai saya merasa lega. Hampir tidak peduli dengan waktu, tidak peduli dengan apa pendapat pembaca. Saya hanya ingin menulis, melukis pemandangan, perasaan, lewat kata, sesuka saya. Sesuka saya.

Sampai beberapa minggu lalu saya kebetulan mengikuti sebuah seminar tulis yang narasumbernya adalah salah satu penulis favorit saya. Yaitu, Darwis Tere Liye. 

Dalam salah satu sesi beliau bertanya, untuk apa menulis?
Saya sendiri belum tahu, untuk apa saya menulis?

Seumpama kamu mandi, untuk apa kamu mandi? Supaya badan kamu tidak bau. Tapi ternyata manfaat kamu mandi juga dirasakan oleh orang-orang sekitarmu. Misalnya, mereka jadi tidak perlu bersusah-susah menghirup udara tidak sedap yang berasal dari bau tubuhmu.

Jadi, untuk apa saya menulis? 
Apa manfaat yang akan dirasakan oleh orang-orang yang baca tulisan saya?

Kemarin, seseorang menyampaikan pesan pada saya lewat aplikasi Whatsapp, "Setelah baca tulisan kamu, aku jadi semangat nulis lagi nih."

Luar biasa! Saya baru sadar bahwa strata tertinggi dari kebahagiaan seseorang yang menulis adalah menularkan semangat menulis! Saya ingin lebih banyak lagi menebar manfaat lewat tulisan.

Lantas, bagaimana caranya menulis?
Tidak ada solusi lain untuk menulis selain, mulailah menulis.

Bagaimana bisa sebuah teko mengisi gelas-gelas kosong, sedang teko itu sendiri kosong?

Membaca;
Mengamati tempat, keadaan atau kegiatan dengan detail;
Mendengarkan cerita, pendapat, sudut pandang seseorang.

bisa menjadi alternatif untukmu memulai sebuah tulisan.
Apa saja.
Sesukamu.




Kalau ingin memiliki materi yang diberikan bang Tere Liye, bisa diunduh disini.

Go write and shine! :)


*****

3 komentar:

  1. Jadi inget sebuah tulisan dari temen di UNIKU yang berjudul, Aku Menulis Maka Aku Ada. klw versinya socrates, Cogito Ergo Sum (aku berfikir maka aku ada), dan kata-kata ini serta pemikiran filsafatnya ga akan diketahui oleh kita sekarang seadainya Plato (murid socrates) tidak 'menulis' pemikiran gurunya. Tengkyuuu Ui, Link materi Tere Liye nya,,, :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah betul juga, Ry. Inget salah satu tweetnya om Prie GS yg bilang "Umur pembaca selalu lebih panjang dari penulis." Jadi walaupun penulisnya udah 'ga punya' umur, tapi tulisannya akan tetep hidup, seengganya buat yg baca tulisan beliau. Sama-sama, Ry :)

      Hapus