One Litre of Tears (2005)
Diangkat dari kisah nyata tentang perjuangan seorang gadis melawan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Penyakit yang menyerang otot-otot tubuhnya sehingga cepat atau lambat akan mengalami kelumpuhan. Sebenarnya ini film lama yang berbentuk drama, hanya saja kemarin malam saya iseng menelurusi sebuah blog dan menemukan cerita ini dalam bentuk film--seseorang membuat versi pendek dari drama Jepang ini. Kalau ada yang iseng juga mau nonton, bisa tonton disini :)
***
Ibu, kali ini aku bukan ingin bercerita tentang bagaimana semangat gadis itu memperjuangkan hidup, atau bagaimana ia dengan sabar melawan penyakit yang menggerogotinya. Meski itu tetap poin hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini.
Ibu, satu jam pertama aku mulai bertanya jika aku adalah dia, akankah ada seseorang yang meski sepanjang waktu aku harus duduk dikursi roda, ia akan tetap berjalan disampingku tanpa merasa malu?
Akankah ada seseorang yang meski aku tak dapat lagi berbicara, ia akan tetap tersenyum padaku dan berkata semua akan baik-baik saja?
Akankah ada seseorang yang memelukku saat aku merasa takut meski sekadar untuk menutup mata?
Akankah ada, bu?
Sedikit banyak aku cemburu pada gadis dalam cerita itu. Bagaimana bisa ia dikelilingi oleh mereka yang begitu tulus mencintainya? Aku semakin gamang ketika tanya yang menggelantung membuat rasa ragu menggelembung.
Atas semua pertanyaan itu, egoiskah aku? batinku.
Tapi ibu, bukankah egois adalah bagian dari manusiawi? Ketika kita selalu menempatkan diri pada titik paling menderita. Menempatkan diri seolah kita paling terluka. Berharap seseorang datang dan menemani dengan setia. Lupa, bahwa setiap manusia mengharap hal yang sama.
Ibu, pada akhir cerita aku paham mengapa gadis itu dikelilingi oleh mereka yang dengan tulus mencintainya. Ya, kau benar tentang apa yang datang dari hati akan tepat mengenai hati. Karena gadis itu tulus mencintai.
Kita tak akan pernah tahu berapa kata maaf dan terimakasih yang disampaikan dari hati bukan sekadar basa-basi. Biar itu jadi urusan Tuhan penggenggam hati.
Ibu, aku berhenti berpura-pura.
Berhenti berharap akan datang seseorang yang mencintaiku apa adanya.
Aku ingin mulai bertanya, akan mampukan aku menemani seseorang yang meski ia duduk diatas kursi roda, meski ia tak dapat lagi bicara, meski seluruh dunia mengkhianatinya, aku akan tetap memeluknya dan berkata semua akan baik-baik saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar