Rabu, 14 Desember 2011

Sebuah ruang di angkasa


"Perjalanan keluar angkasa"

Begitu tulisan pada selebaran yang kau tunjukan padaku. Sudah 2 tahun belakangan kau menceritakan keinginanmu untuk pergi ke sebuah ruang di angkasa. Kau tahu aku selalu suka mendengarkan cerita dan impian-impianmu. Walau kadang keinginanmu itu membuat dahiku mengernyit, tak masuk akal. Kau pandai berbicara. Kau mampu menarik seseorang dalam ceritamu, seakan yang kau katakan itu nyata. Sering aku bergidig merinding setiap kali melihat sorot mata dan semangatmu yang menggebu. Kau terlihat kuat dan rapuh sekaligus. Kerut-kerut didahimu cukup menunjukan kau seorang pemikir yang keras. Memikirkan bagaimana cara menggapai impianmu. Aku tak pernah banyak komentar tentang impian-impianmu selama ini, sampai akhirnya kau mengatakan, ada sebuah ruang di angkasa. Kau bercerita tentang singa yang harus dikalahkan herkules demi memenuhi tugas yang diberikan oleh dewi hera. Singa itu kini ditempatkan dewi hera pada salah satu sudut langit. Kau ingin mengajakku melihat kesana. Dan kau ingin kita menikah ditempat itu. Jelas aku menolak. Aku tak mau pergi kesana. Apalagi melangsungkan pernikahan disana. Bagaimana caraku mengundang keluarga, teman-teman dan mantan pacarku untuk datang ke pesta pernikahanku nanti? Aku mau semua orang menjadi saksi janji setiaku padamu, begitu pula sebaliknya.

Aku masih menatap selebaran yang baru saja kau berikan, membaca keterangan-keterangan harga, apa saja yang harus dibawa dan dipersiapkan, sampai kau merogoh saku celanamu, mengeluarkan sebuat kotak berbentuk hati dari bahan bludru. Menyodorkannya dengan keadaan terbuka, kau berlutut, memintaku untuk menikah denganmmu di sebuah ruang di angkasa. Belum habis rasa haruku, sampai kau menyebutkan sebuah ruang di angkasa. Sebesar itukah keinginanmu untuk menikah di sana?

Kau tahu persis, aku mencintaimu. Aku mencintai impian-impianmu. Atas dasar ingin mewujudkan impianmu, aku menerima lamaran itu. Bukan kepalang kau terlihat bahagia. Aku menangis, saat kau memelukku membisikan kata cintamu. Rasanya berkecamuk. Bahagia melihatmu bahagia, tapi entah apa yang harus aku katakan pada ayah bahwa kelak aku akan menikah di sebuah ruang di luar angkasa.

Kau mempersiapkan semuanya dengan matang. Gaun pernikahanku terlihat indah. Tentu aku tetap ingin terlihat cantik pada pernikahan yang pertama dan terakhirku walaupun mungkin para undangan tidak banyak yang akan datang.
Tiba saatnya kau, aku dan beberapa undangan juga keluarga, untuk melakukan perjalanan keluar angkasa untuk melangsungkan pernikahanku disana. Pernikahan berlangsung hidmat. Ibu menangis, namun tak lama, karena sepertinya ia geli sendiri melihat air disudut matanya melayang-layang. Pesta berlangsung meriah, keponakan-keponakanku sangat suka melompat-lompat di antara cekungan-cekungan bulan. Kau memelukku. Aku ingat, kau berjanji menemaniku hingga salah satu dari kita mati. Aku hanya mengangguk pelan. Terlanjur tenggelam dalam kenyamanan pelukmu, aku tak mau banyak bicara.
Para undangan dan keluarga harus segera pulang. Sedangkan kita memutuskan untuk menetap disana. Kau bersikeras memintaku menetap, kau suka sekali membuatku bingung. Kata cintamu senjata ampuh untuk membujukku. Aku menyerah, menuruti semua keinginanmu.

Kita bulan madu di planet nibiru antara mars dan jupiter. Dulu, sewaktu aku masih remaja, planet nibiru dipercaya suku maya akan menyebabkan kiamat pada tahun 2012. Namun kenyataannya kini, kau dan aku menghabiskan sepanjang hari di planet ini. Nibiru berukuran 20 kali ukuran jupiter dan kita sudah menjelajahi hampir satu pertiga planet ini.
Saat sedang berjalan-jalan kecil, aku mengajakmu beristirahat sebentar. Kau setuju, walaupun kau tidak tampak lelah sedikitpun. Kita bercerita tentang impian-impianmu selanjutnya. Kau selalu berkata, kita harus hidup dengan mimpi. Karena mimpi membuat hidupmu lebih bergairah.

Kita masih berbincang saat planet nibiru tiba-tiba berguncang hebat. Spontan aku menjerit ketakutan, terlalu panik. Kau menggenggam tanganku, mengedarkan pandangan mencari tahu apa yang terjadi. Aku memelukmu, membenamkan kepalaku didadamu. Sekilas ujung mataku menangkap pemandangan retak-retak pada planet nibiru melebar. Aku mulai menangis. Kau berkata "Kalender suku maya terlambat 6 tahun, ini yang mereka ramalkan. Yang tidak terjadi di tahun 2012. Namun terjadi di tahun 2018. Aku mencintaimu." kau mengecup keningku. Kemudian kau menyuruhku melompati bintang-bintang disekitar planet nibiru. Gumpalan seperti awan besar dibelakangmu menarik tubuhmu masuk kedalamnya. Aku masih belum bisa mencerna apa yang terjadi sampai kau melepaskan genggamanmu, mendorongku untuk melompat ke sebuat bintang yang menghubungkan nibiru dan jupiter. Aku tersungkur. Menyaksikan nibiru yang menyimpang masuk ke orbit tiamat. Terjadi tabrakan antara dua planet besar itu. Menyebabkan ledakan yang suaranya memekakkan telinga. Kau, nibiru dan gumpalan awan itu hilang.

Kini, aku hidup di antara bintang dengan kendi-kendi air mata. Pulanglah, aku masih menunggumu. Kehidupan bumi menamaiku, Aquarius.

Selasa, 06 Desember 2011

Memory of our life and our love

Rinai hujan basahi aku
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu

Segala seperti mimpi
Kujalani hidup sendiri
Andai waktu berganti
Aku tetap tak ’kan berubah

Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karna aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri

Selalu ada cerita
Tersimpan dihatiku
Tentang kau dan hujan
Tentang cinta kita
Yang mengalir seperti air

Aku bisa tersenyum
Sepanjang hari
Karna hujan pernah menahanmu disini
Untukku



Ingatkah kau? Sekitar setahun yang lalu kita pernah tertahan oleh hujan di lapangan parkir Tegal Lega di bawah tepi panggung yang seperti memang disiapkan untuk kita. Matahari sudah lama menenggelamkan diri. Aku pun sudah diberi peringatan untuk cepat pulang, tapi aku enggan. Dengan alasan hujan yang tak berdosa, aku memilih untuk tetap bersamamu.

Kita bercengkrama, bercanda tawa, bersenyum ceria, dengan besenandungkan lagu Hujan milik Utopia. Ketika itu, yang kuingat hanyalah aku, kau, hujan, dan cinta kita. Cinta yang mengalir seperti air, selalu berputar tanpa henti dan takkan hilang ditelan asa karena itu hanya berubah wujud menjadi uap atau es dan akan kembali lagi menjadi air.

I am not alone
For you are here with me
Though I’m far away
You are here to stay

For I am not alone
For you are here with me
Though we’re far apart
You’re always in my heart


Tahukah kau? Ketika kita kembali bertemu, rasa rindu merasukiku.aku tak pernah berani mengungkapkannya langsung padamu, hanya bisa meneriakkannya dalam hati sambil bercanda tawa dan bercengkrama. Aku bahagia. Ingin kumenangis, tapi aku tak ingin suasana indah ini mengharu biru. Yang mampu kulakukan hanya berusaha bersikap biasa sebiasa-biasanya di depanmu.
Saat itu, baru kusadari. Diriku ini memang untukmu. Kau pun ternyata selalu di sampingku, menungguku untuk menoleh, tanpa peduli bahwa aku hampir melupakanmu.

***

Annyta Sumarya
Rekan pertamaku sejak bimanda. Seorang gadis pemalu yang kadang mudah dikendalikan karena sikapnya yang kurang percaya diri. Dan kini semakin cantik dan kuat karena ada seorang lain di sampingnya yang menjaganya.

Ayu Nabilla
Rekanku yang kuat, tetapi juga sebenarnya tak kalah lemah dari yang lain, bukan berarti dia yang paling lemah . Gadis ceria yang selalu menunjukkan bahwa dia adalah pendukung setia bagi paham narsisme.

Fitri Yenni
Rekan terdekatku dan rekanku pertama dan satu-satunya yang mampu secara terang-terangan mengungkapkan ketidakpuasannya atasku. Gadis paling muda dan kekanakan, baik dari umur maupun sikapnya, sering membuat tergelak karena kepolosannya.

Muhammad Denry Maulana
Koordinator Ekstrakurikuler Pasukan Pengibar Bendera Kota Bandung Satuan Sekolah Menengah Atas Negeri 11. Rekan terkuat yang juga rentan. Lelaki bijaksana. Pemuda mulia yang menyerahkan hidupnya untuk orang lain di sekitarnya tanpa sisa waktu untuk dirinya sendiri.

Raden Aditya Aryandi Setiawibawa
Ketua Angkatan Pasukan Pengibar Bendera Kota Bandung Satuan Sekolah Menengah Atas Negeri 11. Koordinator Umum Pasukan Pengibar Bendera Kota Bandung. Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah Menengah Atas Negeri 11 Bandung. Rekan temperamental yang juga keras. Lelaki yang selalu dituntut untuk aktif karena mendapat kedudukan yang ‘lumayan’ di setiap organisasi yang ia ikuti. Pemuda yang memiliki mata yang tegar dan kuat.

Regia Jafar Sidiq
Rekanku yang paling banyak memiliki kesamaan denganku, menurutku. Lelaki ajaib yang sering bertindak di luar perkiraanku. Pemuda pecinta kucing yang setia nan lembut, aku hanya mampu menggelengkan kepala untuk kesetiaannya.

Rine Rubina Adzani
Rekanku yang paling lucu, kami sering saling membuat diri masing-masing gemas karena sikap kami. Gadis yang paling sering memelukku. Hanya di depannya lah aku selalu bisa bersikap dewasa, entah kenapa.

Risky Haerunnisa Hatta
Rekanku yang paling keras sebagai senior dan paling setia sebagai kawan. Gadis yang kadang terlalu menikmati dirinya yang seperti itu hingga berlebihan. Meskipun begitu jarang pula dia menyalahtempatkan dirinya.

Yuliani
Rekanku yang paling low-profile. Gadis yang sangat mampu menempatkan dirinya dengan tepat, paling hebat menemukan tanggapan yang sesuai untuk lawan bicaranya, dan juga paling bisa membuatku menggelengkan kepala, berdecak, tersenyum, dan bertepuk tangan ketika melihatnya. Sangat salut.

Laskar Pelangi
10 sahabat yang masing-masingnya memiliki warna-warna yang berbeda-beda, saling bersatu, mendukung, dan berbagi. Kesatuan tanpa batas waktu tanpa ujung akhir, selalu hidup di setiap hati tanpa ada yang mampu mengganti.

***

Aku bahagia bersama kalian, wahai rekan, kawan, sahabat, saudara, dan sandaranku. Tetaplah tersenyum untukku dan memancarkan warnamu. Karena itulah sumber energi untuk senyum dan hidupku.

Terima kasih untuk kalian semua yang telah mewarnai hatiku yang dulunya hitam putih ini. Aku sayang kalian teramat sangat! >_<

Seorang yang jujur, karena wajahnya yang sangat mampu menunjukan ekspresi hatinya.

Sabtu, 05 November 2011

Surat Rangga

Bulan Ramadhan telah tiba. Semua umat muslim di dunia menyambutnya dengan suka cita, termasuk orang-orang di komplek perumahan tempat tinggal Rangga. Berbagai kegiatan telah disiapkan oleh masjid Al-Istiqomah, satu-satunya masjid di komplek itu.

Salah satu kegiatan tersebut adalah ceramah agama untuk anak-anak setiap sore hari di masjid itu. Sebelum ceramah, terlebih dahulu anak-anak, dengan dibimbing oleh ustad Sanusi, tadarus Al Quran bersama.

Rangga adalah salah satu anak yang aktif mengikuti kegiatan ceramah dan tadarus itu. Karena kini Rangga telah duduk di bangku kelas 3 SD, ia meyakinkan dirinya untuk puasa secara penuh dan beribadah dengan total di bulan Ramadhan kali ini.

Sore itu adalah hari ketujuh bulan Ramadhan. Kegiatan ceramah & tadarus juga sudah berlangsung tujuh kali. Dengan sarung berwarna hijau dan baju koko berwarna senada, Rangga duduk di barisan paling depan. Anak-anak kini telah menyelesaikan tadarus bersama dan bersiap-siap mendengarkan ceramah.

Tema ceramah hari itu adalah tentang surga. Ustad Sanusi bercerita bahwa surga itu adalah tempat yang sangat indah, penuh pepohonan hijau serta bangunan-bangunan yang indah. Semua permintaan penghuni Surga akan dikabulkan oleh Allah, karena itu adalah balasan setimpal atas amal ibadah yang mereka kerjakan di dunia.

Di perjalanan pulang, Rangga membahas ceramah tentang surga tadi dengan sahabatnya, Seno. “Kalau masuk surga nanti, aku ingin punya sayap sehingga aku dapat terbang dan melihat seluruh isi surga!” Seru Rangga berapi-api sambil membentangkan tangannya.

“Kalau aku mau punya pesawat jet saja. Sayapmu pasti kalah dengan jetku!” Timpal Seno tidak mau kalah sambil ikut membentangkan tangannya.

“Ah tidak mungkin, ayo coba buktikan sekarang, siapa yang lebih cepat!” Rangga mulai berlari, diikuti oleh Seno. Kedua anak itu kini tampak berkejar-kejaran dengan tangan terbentang, seakan mereka sedang terbang di ketinggian surga.

Keesokan harinya, matahari bersinar dengan terik. Rangga sampai di rumah dengan peluh bercucuran dari seluruh tubuhnya. Ia ingin sekali minum, tapi itu tentunya akan membatalkan puasanya. Akhirnya ia memutuskan untuk mendinginkan diri dengan kipas angin di kamarnya.

Saat melewati dapur, Rangga melihat ibunya sedang minum segelas air. Rangga terpekik kaget, “Mama kok gak puasa?”

Hampir saja ibu tersedak air karena kaget saat mendengar pekikan Rangga. Ibu lalu meletakan gelas dan menghampiri Rangga. “Ibu sedang menstruasi. Setiap bulan sekali, seorang wanita dewasa menstruasi.” Ibu menjelaskan sambil membelai kepala Rangga.

“Saat wanita menstruasi, ia tidak boleh berpuasa. Tapi ia harus menggantinya di hari yang lain, saat ia sudah tidak menstruasi” lanjut ibu.

Rangga hanya diam. Suatu saat kalau ia masuk surga nanti, ia juga ingin menstruasi, sehingga ia tidak perlu berpuasa. Ia dapat menggantinya di hari lain saat dirinya cukup kuat. Begitu pikir Rangga.

Malamnya, Rangga bertengkar dengan adiknya, Nera. Penyebabnya adalah karena Nera ingin bermain game Barbie di Play Station, sedangkan Rangga ingin main game lainnya. Nera menangis, Rangga akhirnya disuruh mengalah. Rangga langsung menuju kamarnya dengan perasaan kesal.

Kalau aku masuk surga nanti, aku mau punya Play Station sendiri dan TV sendiri. Aku ingin punya kamar bermain sendiri agar aku dapat bermain sepuasku tanpa diganggu oleh Nera. Batin Rangga.

Perasaan kesal Rangga akhirnya memudar karena kini ia asik menuliskan benda apa saja yang akan dimintanya saat ia masuk surga kelak. Satu halaman sudah terisi berbagai keinginannya, mulai dari mainan Gundam terbaru, sepatu bola, hingga es krim dekat rumah nenek yang sangat lezat.

Keesokan sorenya, Rangga tampak berlari-lari kecil. Rupanya karena ketiduran, ia jadi terlambat mengikuti kegiatan tadarus dan ceramah. Syukurlah saat ia sampai, kegiatan tadarus baru akan dimulai. Rangga langsung mengambil posisi duduk di samping Seno.

Hari itu, tidak seperti biasanya, Seno tampak murung dan tertunduk lesu. Ceramah jenaka Ustad Sanusi, yang membahas tentang bagaimana cara bercanda yang baik dalam Islam, bahkan tidak membuat segores senyum di bibir Seno. Rangga yakin pasti ada yang tidak beres dengan sahabatnya yang satu ini.

Di perjalanan pulang, Rangga menghampiri Seno yang sengaja jalan berlambat-lambat. Rangga menanyakan mengapa Seno muram hari ini. Awalnya Seno tampak ragu untuk bercerita, namun akhirnya ia menceritakan penyebab kemurungannya.

“Kemarin aku membaca sebuah buku dari perpustakaan sekolah. Di buku itu dikatakan bahwa surga itu ada di telapak kaki ibu. Aku sedih. Aku tidak akan mungkin masuk surga. Aku kan sudah tidak punya ibu semenjak aku lahir” Seno menundukkan wajahnya. Setetes air mata jatuh di pipi kirinya.

Ibu Seno memang telah meninggal saat melahirkannya. Kini ia bersama kedua kakaknya diasuh oleh neneknya. Ayah Seno sendiri bekerja di luar kota. Setiap akhir pekan, ayah Seno pulang ke rumah.

Rangga merangkul bahu sahabatnya itu, dan kemudian berkata, “kamu pasti lupa tentang ceramah ustad Sanusi kemarin dulu. Saat di surga, kita dapat meminta apa saja.”

“Mungkin yang harus kita lakukan sekarang adalah beribadah lebih giat lagi. Kalaupun suatu saat kamu ternyata memang tidak masuk surga, kan ada aku yang akan meminta Allah agar membiarkanmu masuk surga.” Lanjut Rangga.

Seno kini mulai tersenyum. “Iya, kupikir kita memang harus beribadah lebih giat lagi. Aku akan terus mendoakan ibuku, karena ia juga harus masuk surga bersamaku. Begitu juga kakak, nenek dan ayahku.”

Di dalam hatinya, Rangga juga berjanji untuk melakukan hal yang sama. Beribadah lebih giat, dan terus mendoakan orang-orang yang dicintainya agar mereka dapat berkumpul bersama di surga.

“Nanti, di surga, kita juga harus tinggal bersebelahan ya, agar kita bisa terus bermain bersama.”

Kedua anak itu lalu tertawa gembira. Semoga mereka akan tetap mengingat dan melaksanakan janjinya itu saat dewasa nanti.

Original posted by @taniamini

Selasa, 18 Oktober 2011

PEREMPUAN by Tasaro GK

Di mana lagi aku temui perempuan semacammu? Tilawahmu tidaklah terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar kepadaku.

Tapi, di mana lagi aku temui perempuan seikhlasmu? Wajahmu tak cantik melulu, masakanmu pun tidak lezat selalu.

Tapi, katakan kepadaku, di mana lagi aku jumpai perempuan seperkasamu? Kau bahkan tidak biasa berbicara mewakili dirimu sendiri, dan acapkali menyampaikan isi hatimu dalam bahasa yang tak berkata-kata.

Demi Tuhan, tapi aku benar-benar tidak tahu, ke mana lagi aku cari perempuan seinspiratif dirimu? Ingatkah lima tahun lalu aku hanya memberimu selingkar cincin 3 gram yang engkau pilih sendirian? Tidak ada yang spektakuler pada awal penyatuan kita dulu. Hanya itu. Karena aku memang tidak punya apa-apa.

Ah, bagaimana bisa aku menemukan perempuan lain sepertimu? Aku tidak akan melupakan amplop-amplop lusuhmu, menyimpan lembaran ribuan yang kausiapkan untuk belanja satu bulan. Dua ribu per hari. Sudah kauhitung dengan cermat. Berapa rupiah untuk minyak tanah, tempe, cabe, dan sawi. Ingatkah, Sayang? Dulu kita begitu akrab dengan racikan menu itu. Setiap hari. Sekarang aku mulai merasa, itulah masa paling indah sepanjang pernikahan kita. Lepas maghrib aku pulang, berkeringat sebadan, dan kaumenyambutku dengan tenang. Segelas air putih, makan malam: tempe, sambal, dan lalap sawi.

Kita bahagia. Sangat bahagia?.. Aku bercerita, seharian ada apa di tempat kerja. Kau memijiti punggungku dengan jemarimu yang lemah tapi digdaya. Kau lalu bercerita tentang tingkah anak-anak tetangga? Kala itu kita begitu menginginkan hadirnya buah cinta yang namanya pun telah kusiapkan sejak bertahun-tahun sebelumnya. Kita tidak pernah berhenti berharap, kan, Honey?

Dua kali engkau menahan tangismu di ruang dokter saat kandunganmu mesti digugurkan. Aku menyiapkan dadaku untuk kepalamu, lalu membisikkan kata-kata sebisaku, “tidak apa-apa. Nanti kita coba lagi. Tidak apa-apa.” Di atas angkot, sepulang dari dokter, kita sama-sama menangis, tanpa isak, dan menatap arah yang berlawanan. Tapi, masih saja kukatakan kepadamu, “Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Kita masih muda.” Engkau tahu betapa lukanya aku. Namun, aku sangat tahu, lukamu berkali lipat lebih menganga dibanding yang kupunya. Engkau selalu bisa segera tersenyum setelah merasakan sakit yang mengaduk perutmu, saat calon bayi kita dikeluarkan. Kaumemintaku menguburkannya di depan rumah kita yang sepetak. “Yang dalam, Kang. Biar nggak digali anjing.”

Jadi, ke mana aku bisa mencari perempuan sekuat dirimu? Kaupasti tak pernah tahu, ketika suatu petang, sewaktu aku masih di tempat kerja, hampir merembes air mataku ketika kauberitahu. “Kang, Mimi ke Ujung Berung, jual cincin.” Cincin yang mana lagi? Engkau sedang membicarakan cincin kawinmu, Sayang. Yang 3 gram itu. Aku membayangkan bagaimana kau beradu tawar menawar dengan pembeli emas pinggir jalan. Bukankah seharusnya aku masih mampu memberimu uang untuk makan kita beberapa hari ke depan? Tidak harus engkau yang ke luar rumah, melawan gemetar badanmu, bertemu dengan orang-orang asing. Terutama ? untuk menjual cincinmu? Cincin yang seharusnya menjadi monumen cinta kita. Tapi kausanggup melakukannya. Dan, ketika kupulang, dengan keringat sebadan, engkau menyambutku dengan tenang. Malam itu, tidak cuma tempe, cabe, dan lalap sawi yang kita makan. Kaupulang membawa uang. Duh, Gusti, jadi bagaimana aku sanggup berpikir untuk mencari perempuan lain seperti dirinya?

Ketika kondisi kita membaik, bukankah engkau tidak pernah meminta macam-macam, Cinta? Engkau tetap sesederhana dulu. Kaubelanja dengan penuh perhitungan. Kauminta perhatianku sedikit saja. Kau kerjakan semua yang seharusnya dikerjakan beberapa orang. Kaucintai aku sampai ke lapisan tulang. Sampai membran tertipis pada hatimu.

Ingatkah, Sayang? Aku pernah menghadiahimu baju, yang setelah itu kautak mau lagi membeli pakaian selama bertahun-tahun kemudian. Baju itu seharga kambing, katamu. Kautak mau buang-buang uang. Bukankah telah kubebaskan kau mengelola uang kita? Kautetap seperti dulu. Membuat prioritas-prioritas yang kadang membuatku kesal. Kau lebih suka mengisi celengan ayam jagomu daripada membeli sedikit kebutuhanmu sendiri.

Dunia, kupikir aku tak akan pernah menemui lagi perempuan seperti dia. Sepekan lalu, Sayang, sementara di rahimmu anak kita telah sempurna, kaumasih memikirkan aku. Menanyai bagaimana puasaku, bukaku, sahurku? Siapa yang mencuci baju-bajuku, menyetrika pakaianku. Bukankah sudah kupersilakan engkau menikmati kehamilanmu dan menyiapkan diri untuk perjuanganmu melahirkan anak kita? “Kang, maaf, ya, dah bikin khawatir, gak boleh libur juga gak papa. Tadi tiba-tiba gak enak perasaan. Tau nih, mungkin krn bentar lagi.” Bunyi smsmu saat kudalam perjalanan menuju Jakarta. Panggilan tugas. Dan, engkau sangat tahu, bagiku pekerjaan bukan neraka, tetapi komitmen. Seberat apa pun, sepepat apa pun, pekerjaan adalah sebuah proses menyelesaikan apa yang pernah aku mulai. Tidak boleh mengeluh, tidak boleh menjadikannya kambing hitam. Membaca lagi SMSmu membuatku semakin tebal bertanya, ke mana lagi kucari seorang pecinta semacammu.

Kaumencintaiku dengan memberiku sayap. Sayap yang mampu membawaku terbang bebas, namun selalu memberiku alamat pulang kepadamu. Selalu. Lalu SMS mu itu kemudian menjadi firasat. Sebab, segera menyusul teleponmu, pecah ketubanmu. Aku harus segera menemuimu. Secepat-cepatnya meninggalkan Bandung menuju Cirebon untuk mendampingimu. “Terus kamu kenapa masih di sini? Pulang saja,” kata atasanku ketika itu. Engkau tahu, Sayang, aku masih berada di dalam meeting ketika teleponmu mengabarkan semakin mendekatnya detik-detik lahirnya “tentara kecil” kita. Ketika itu aku masih berpikir, boleh kuselesaikan meeting itu dulu, agar tidak ada beban yang belum terselesaikan. Tapi, tidak. Atasanku bilang, tidak. “Pulang saja,” katanya. Baru kubetul-betul sadar, memang aku segera harus pulang. Menemuimu. Menemanimu. Lalu, kusalami mereka yang ada di ruang rapat itu satu-satu. Tidak ada yang tidak memberikan dorongan, kekuatan, dukungan.

Lima jam kemudian aku ada di sisihmu. Seranjang sempit rumah sakit dengan infuse di pergelangan tangan kirimu. Kaumulai merasakan mulas, semakin lama semakin menggila. Semalaman engkau tidak tidur. Begitu juga aku. Berpikir untuk memejamkan mata pun tak bisa. Aku tatap baik-baik ekspresi sakitmu, detik per detik. Semalaman, hingga lepas subuh, ketika engkau bilang tak tahan lagi. Lalu, aku berlari ke ruang perawat. “Istri saya akan melahirkan,” kataku yakin.

Bergerak cepat waktu kemudian. Engkau dibawa ke ruang persalinan, dan aku menolak untuk meninggalkanmu. “Dulu ada suami yang ngotot menemani istrinya melahirkan, lihat darah, tahu-tahu jatuh pingsan,” kata dokter yang membantu persalinanmu. Aku tersenyum, yang pasti laki-laki itu bukan aku. Sebab aku merasa berada di luar ruang persalinan itu akan jauh lebih menyiksa. Aku ingin tetap di sisihmu. Mengalirkan energi lewat genggaman tanganku, juga tatapan mataku. Terjadilah. Satu jam. Engkau mengerahkan semua tenaga yang engkau tabung selama bertahun-tahun. Keringatmu seperti guyuran air. Membuat mengilap seluruh kulitmu. Terutama wajahmu. Menjerit kadangkala. Tanganmu mencengkeram genggamanku dengan kekuatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kekuatan yang lahir oleh kesakitan. Engkau sangat kesakitan, sementara “tentara kecil” kita tak pula mau beranjak. “Banyak kasus bayi sungsang masih bisa lahir normal, kaki duluan. Tapi anak ini kakinya melintang,” kata dokter. Aku berusaha tenang. Sebab kegaduhan hatiku tidak bisa membantu apa-apa. Kusaksikan lagi wajah berpeluhmu,Sayang. Kurekam baik-baik, seperti fungsi kamera terbaik di dunia. Kusimpan lalu di benakku yang paling tersembunyi. Sejak itu kuniatkan, rekaman itu akan kuputar jika suatu ketika kuberniat mencurangimu, menyakitimu, melukaimu, mengecewakanmu.

Aku akan mengingat wajah itu. Wajah yang hampir kehilangan jiwa hanya karena ingin membuatku bahagia. “Sudah tidak kuat, Kang. Nggak ada tenaga,” bisikmu persis di telingaku. Karena sengaja kulekatkan telingaku ke bibirmu. Aku tahu, ini urusan nyawa. Lalu kumerekam bisikanmu itu. Aku berjanji pada hati, rekaman suaramu itu akan kuputar setiap lahir niatku untuk meminggirkanmu, mengecilkan cintamu, menafikkan betapa engkau permata bagi hidupku. Aku mengangguk kepada dokter ketika ia meminta kesanggupanku agar engkau dioperasi. Tidak ada jalan lain. Aku membisikimu lagi, persis di telingamu, “Mimi kuat ya. Siap, ya. Ingat, ini yang kita tunggu selama 5 tahun. Hayu semangat!”

Engkau mengangguk dengan binar mata yang hampir tak bercahaya. Aku tahu, ini urusan nyawa. Tapi mana boleh aku memukuli dinding, menangis sekencang angin, lalu mendongak ke Tuhan, “Kenapa saya, Tuhan! Kenapa kami?” Sebab, Tuhan akan menjawab, “Kenapa bukan kamu? Kenapa bukan kalian?” Aku mencoba tersenyum lagi. Mengangguk lagi kepadamu. “Semua akan baik-baik saja.” Maka menunggumu di depan ruang operasi adalah saat di mana doa menjadi berjejal dan bernilai terkhusyuk sepanjang hidup. Seandainya aku boleh mendampingi operasimu?. Tapi tidak boleh. Aku menunggumu sembari berkomat-kamit sebisaku. Aku sendirian. Berusaha tersenyum, tetapi sendirian. Tidak ? tidak terlalu sendirian.

Ada seseorang mengirimiku pesan pendek dan mengatakan kepadaku, “Aku ada di situ, menemanimu.” Kalimat senada kukatakan kepadanya suatu kali, ketika dia mengalami kondisi yang memberatkan. “Apa kepala bebalmu tidak merasa? Aku ada di situ! Menemanimu!” Lalu, tangis itu! Rasanya seperti ada yang mencabut nyawaku dengan cara terindah sedunia. Tangis itu! Tentara kecil kita. Menjadi gila rasanya ketika menunggu namaku disebut. Berlari ke lorong rumah sakit ketika tubuh mungil itu disorongkan kepadaku. “Ini anak Bapak?” Tahukah engkau, Sayang. Ini bayi yang baru keluar dari rahimmu, dan aku harus menggendongnya. Bukankah dia terlau rapuh untuk tangan-tangan berdosaku? Dokter memberiku dukungan. Dia tersenyum dengan cara yang sangat senior. “Selamat, ya. Bayinya laki-laki.” Sendirian, berusaha tenang. Lalu kuterima bayi dalam bedongan itu. Ya, Allah?.bagaimana membahasakan sebuah perasaan yang tidak terjemahkan oleh semua kata yang ada di dunia???

Makhluk itu terpejam tenang semacam malaikat; tak berdosa. Sembari menahan sesak di dadaku, tak ingin menyakitinya, lalu kudengungkan azan sebisaku. Sebisaku. Sebab, terakhir kukumandangkan azan, belasan tahun lalu, di sebuah surau di pelosok Gunung Kidul. Azan yang tertukar redaksinya dengan Iqomat. Mendanau mataku. Begini rasanya menjadi bapak? Rasanya seperti tertimpa surga. Aku tak pedul lagi seperti apa itu surga. Rasanya sudah tidak perlu apa-apa lagi untuk bahagia. Momentum itu berumur sekitar lima menit. Tentara kecil kita diminta oleh perawat untuk dibersihkan. Ingatanku kembali kepadamu.

Bagaimana denganmu, Sayang? Kukirimkan kabar tentang tentara kecil kita kepada seseorang yang semalaman menemani kita bergadang dari kejauhan. Dia seorang sahabat, guru, inspirator, pencari, dan saudara kembarku. “He is so cute,” kata SMS ku kepadanya. Sesuatu yang membuat laki-laki di seberang lautan itu menangis dan mengutuk dirinya untuk menyayangi bayi kita seperti dia merindukan dirinya sendiri. Sebuah kutukan penuh cinta. Setengah jam kemudian, berkumpul di ruangan itu. Kamar perawatan kelas dua yang kita jadikan kapal pecah oleh barang-barang kita. Engkau, aku, dan tentara kecil kita. Seorang lagi; keponakan yang sangat membantuku di saat-saat sulit itu. Seorang mahasiswi yang tentu juga tidak tahu banyak bagaimana mengurusi bayi. Tapi dia sungguh memberiku tangannya dan ketelatenannya untuk mengurusi bayi kita. Engkau butuh 24 jam untuk mulai berbicara normal, setelah sebelumnya seperti mumi. Seluruh tubuhmu diam, kecuali gerakan mata dan sedikit getaran di bibir.

Aku memandangimu, merekam wajahmu, lalu berjanji pada hati, 50 tahun lagi, engkau tidak akan tergantikan oleh siapa pun di dunia ini. Lima hari, Sayang. Lima hari empat malam kita menikmati bulan madu kita sebenar-benarnya. Aku begitu banyak berimprovisasi setiap hari. Mengurusi bayi tidak pernah ilmunya kupelajari. Namun, apa yang harus kulakukan jika memang telah tak ada pilihan? Aku menikmati itu. Berusaha mengurusmu dengan baik, juga menenangkan tentara kecil kita supaya tangisnya tak meledak-ledak. “Terima kasih, Kang,” katamu setelah kubantu mengurusi kebutuhan kamar mandimu. Lima tahun ini apa keperluanku yang tidak engkau urus, Sayang? Mengapa hanya untuk pekerjaan kecil yang memang tak sanggup engkau lakukan sendiri, engkau berterima kasih dengan cara paling tulus sedunia? Lalu ke mana kata “terima kasih” yang seharusnya kukatakan kepadamu sepanjang lima tahun ini? Tahukah engkau, kata “terima kasih” mu itu membuat wajahmu semelekat maghnet paling kuat di kepalaku. Mengurusimu dan bayi kita.

Lima hari itu, aku menemukan banyak gaya menangisnya yang kuhafal di luar kepala, agar aku tahu apa pesan yang ingin dia sampaikan. Gaya kucing kehilangan induk ketika ia buang kotoran. Gaya derit pintu ketika dia merasa kesepian, gaya tangis bayi klasik (seperti di film-film atau sandiwara radio) jika dia merasa tidak nyaman, dan paling istimewa gaya mercon banting; setiap dia kelaparan. Tidak ada tandingnya di rumah sakit bersalin yang punya seribu nyamuk namun tidak satu pun cermin itu. Dari ujung lorong pun aku bisa tahu itu tangisannya meski di lantai yang sama ada bayi-bayi lain menangis pada waktu bersamaan.

Ah, indahnya. Tak pernah bosan kutatapi wajah itu lalu kucari jejak diriku di sana. Terlalu banyak jejakku di sana. Awalnya kupikir 50:50 cukup adil. Agar engkau juga merasa mewariskan dirimu kepadanya. Tapi memang terlalu banyak diriku pada diri bayi itu. Hidung, dagu, rahang, jidat, tangis ngototnya, bahkan detail cuping telinga yang kupikir tidak ada duanya di dunia.

Ada bisik bangga, “Ini anakku? anak laki-lakiku. ” Tapi tenang saja, istriku, kulitnya seterang dan sebening kulitmu. Rambutnya pun tak seikal rambutku. Kuharap, hatinya kelak semembentang hatimu. Kupanggil dia Sena yang berarti tentara. Penggalan dari nama sempurnanya: Senandika Himada. Sebuah nama yang sejarahnya tidak serta-merta. Panjang dan penuh keajaiban. Senandika bermakna berbicara dengan diri sendiri; kontemplasi, muhasabbah, berkhalwat dengan Allah. Sedangkan Himada memiliki makna yang sama dengan Hamida atau Muhammad: YANG TERPUJI? dan itulah doa kita untuknya bukan, Sayang? Kita ingin dia menjadi pribadi yang terpuji dunia akhirat. Kaya nomor sekian, pintar pun demikian, terkenal apalagi. Yang penting adalah terpuji? mulia?dan ini bukan akhir kita, bukan, Honey?

Ini menjadi awal yang indah. Awalku jatuh cinta (lagi) kepadamu. (persembahan buat setiap perempuan, dan ibu yang hatinya semembentang samudra)

Kamis, 06 Oktober 2011

Saya dan Kamu

Kalau meng-analogi-kan diri, mungkin saya dan kamu adalah jarum jam. Kadang diatas kadang dibawah. Kadang mengalami pertemuan. Kadang mengalami perpisahan. Tapi saya dan kamu selalu berputar pada poros yang sama. Pada arah yang sama. Menentukan kapan bertemu lagi. Kamu jarum detik, saya jarum menit dan hidup adalah jarum jam. Kamu selalu bergerak cepat. Meski tidak pernah beriringan, kamu akan memimpin saya berjalan di depan. Menentukan kapan saya boleh bergerak. Ya, saya bergerak sesuai perintahmu. Kemudian hidup mengikuti kita dari belakang.
Saya dan kamu tidak pernah berjalan mundur. Walau terkadang kita sama-sama ingin berjalan mundur. Mengingat lagi apa yang pernah kita lalui. Tapi sudahlah tugas kita adalah untuk tetap berjalan ke depan.

Kamu, yang belum ditemukan.
Saya masih menjaga hati saya untuk kamu. Masih memutuskan untuk menunggu.
Sampai bertemu!

Senin, 03 Oktober 2011

#5 Hilang

Hilangnya rasa kehilangan

Saat harus kehilangan seseorang atau sesuatu yang saya sayangi, ada rasa linu luar biasa di kerongkongan. Papa bilang saya ini anak cengeng. Kalau sesuatu yang saya senangi hilang, saya bisa seharian menangisinya. Kemudian, semakin banyak saya kehilangan, semakin saya merasa kehilangan itu hal biasa. Toh, pada suatu saat nanti sesuatu yang hilang itu akan tergantikan dengan yang lebih baik -setidaknya lebih baik menurutku-. Lalu bagaimana dengan kematian? Kematian akan meninggalkan rasa kehilangan. Apa masih bisa saya bilang kalau kehilangan itu hal biasa?

Suatu pagi saat hendak pergi ke kampus, secara tidak sengaja mendengar perbincangan mama dan tante. "Sok ngarasa jigana yani mah tiheula. Da batur mah sarehat." (Saya merasa saya akan pergi duluan dibanding yang lain karena yang lain sehat). Saya sadar betul kematian itu hal mutlak yang siapapun -suatu saat nanti- pasti mengalaminya. Tapi saya belum siap. Entah kapan siap.

Sore itu, ditengah perbincangan kecil saya dan adik saya di kamar, saya mengatakan bahwa doa yang paling kejam adalah mendoakan seseorang kehilangan orang yang sangat disayanginya. Walaupun sebenarnya kehilangan seseorang juga hal yang mutlak akan terjadi.

Ma, hiduplah selamanya dalam hidup teteh :)
Love you.

Kamis, 15 September 2011

Untuk Kamu

Rasanya mau menuliskan semua yang terjadi hari ini. Menuliskan tentang kamu, dia, dan waktu bahkan tentang jarak dan kesalahpahaman. Ingin menumpahkan semua rasa kecewa, sakit dan bersyukur secara bersamaan. Tapi tidak ingin mengungkapkannya secara brutal apalagi dengan memaki dan menyumpahi seseorang -jujur, itu bukan gaya saya.
Kalau saja ada satu kata yang bisa menggambarkan perasaan saya hari ini. Saya pasti sudah teriakan didepan cermin. Karna saya sadar betul, bukan cacianmu -yang bahkan menyalahkan saya atas apa yang terjadi pada kamu dan dia- yang membuat saya kesal. Saya kesal karna sampai sekarang saya masih berpikir bahwa "Dialah yang salah. Bukan saya." Kalau saja saya mau merendahkan hati sedikit saja. Kemudian menyerahkan semua yang terjadi pada-NYA, mungkin kini hati saya sudah sedikit tenang.
Saya bukan mau meminta maaf. Hanya ingin menyadarkan. Sudahlah.. Tuhan tahu mana yang terbaik untukmu, saya dan dia. Rasa kesalmu terhadap saya sama sekali tidak mengubah keadaaan apalagi menyelesaikan masalah. Btw, saya suka kata-kata "biang kerok"-mu, menurut saya itu keren B-) Saya belum pernah menggunakan kata-kata itu untuk seseorang, yang saya paling benci sekali pun. Karena saya benci seseorang yang merasa dirinya paling benar. Itulah kenapa saya kesal setiap kali saya berpikir "Bukan saya yang salah."
Menurut saya, saya, kamu dan dia hanya perlu sama-sama menemukan apa kesalahan masing-masing. Biar kemudian waktu, jarak dan kesalahpahaman itu sendiri yang bahkan menunjukan jalannya.

15 September 2011 09:28
Hari ini pun saya belajar banyak hal dari kamu, terimakasih. Mari kita bertemu saat sama-sama menemukan kesalahan lalu sama-sama mentertawakannya.

Sepaket itu Mama dan Papa :)

Saya tidak mau tidur cepat hari ini. Mau berlama-lama ngobrol sama papa. Mau diskusi soal banyak hal. Sedikit sombong bahwa kali ini saya bisa mengerti -paling tidak sedikit- soal dunianya. Dunia ekonomi. Sampai dia tersenyum bangga, menyadari kini anaknya bukan lagi gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Lalu berguling-guling manja di atas tempat tidur mama. Menggodanya sampai kesal, ekspresi kesalnya itu bikin gemas >< Kemudian saya peluk erat wanita paling indah dalam hidup saya itu. Pelukannya adalah obat paling mujarab kedua -setelah menangis diatas sajadah- untuk mengobati rasa sakit.
Kali ini saya mau sampaikan, "Ma, pa, hari ini teteh ngalamin kejadian yang bikin sakit hati, tapi teteh ga nangis loh." Karna mama bilang "Patah hati itu hal biasa" dan karna saya sadar bahwa jatuh cinta dan patah hati itu satu paket. Seperti mama dan papa yang satu paket bahkan hidup berdampingan dengan harmonis.
Setelah perbincangan kecil itu, kemudian saya sadar kenapa saya bisa begitu kuat, karna orangtua saya adalah orang-orang hebat.

15 September 2011 08:09
BBNotePad. Rumah Tercinta. Diatas sajadah. Tanpa menangis.

Untuk kamu, bahkan seseorang yang hanya saya tahu namanya, berbahagialah :)

Senin, 12 September 2011

Perjalanan

Masih jauh rupanya, entah saya menuju kamu atau kamu menuju saya yang jelas perjalanan saya dan kamu masih sama-sama jauh. Saya selalu suka duduk-duduk di kursi penumpang, lalu memperhatikan awan -siapa tahu ada namamu terselip dintaranya. Saya pikir kamu akan sedikit meninggalkan petunjuk- atau sekedar memandang tumpukan-tumpukan padi yang baru panen. Kamu pasti berpikir petak-petak sawah itu akan lebih indah jika dalam keadaan hijau. Sebenarnya saya rasa tumpukan padi yang baru panen tidak kalah indah. Mereka seperti anak perempuan yang baru menikah. Sudah tidak hijau, sudah ada yang punya. Tapi mereka bahagia karena sebentar lagi akan bermanfaat bagi kehidupan seseorang. Sesekali saya membuka jendela, memejamkan mata mencari bau tubuhmu diantara angin. Mungkin angin ingin sedikit membantu saya menemukanmu.
Kalau lagi ga' sabar, saya selalu cerewet pada supir supaya cepat-cepat membawa saya sampai tujuan. Saya kepingin cepat-cepat bertemu kamu. "Jangan kebut-kebut ah. Lambat asal selamat aja, neng", oh saya rasa pernyataan ini ada benarnya. Bersabar lebih lama lagi agar saya sampai ke tujuan yang lebih indah. Seperti sedang dalam perjalanan mendaki gunung, jika mau bersabar lebih lama dan berkorban lebih banyak, maka puncak yang akan saya capai juga akan memperlihatkan pemandangan yang lebih indah.
Saya tidak tahu kapan dan dimana perjalanan ini akan berakhir. Yang saya yakin, perjalanan ini akan berakhir indah. Kapanpun itu, dimanapun itu, siapapun kamu.

Bandung-Cirebon
2 September 2011 09:32

Sabtu, 27 Agustus 2011

Dia yang luar biasa

Saya percaya bahwa cinta itu ada, tapi sempat skeptis mengenai adanya konsep soulmate dan semacamnya. Ah tapi kata orang, ngga boleh sesumbar, mungkin si soulmate sedang dalam perjalanannya menuju saya. Sejujurnya, saya paling ngga suka menunggu. Tapi entah kenapa, untuk satu orang itu saya punya cadangan toleransi waktu tak terhingga. Satu orang itu adalah dia, yang masih disembunyikan Tuhan dalam tanganNya. Mungkin tangan kiri atau tangan kanan, saya tidak pernah tau pasti.

Kalau nanti dia membaca tulisan ini, pasti dia menilai saya terlalu sentimentil atau apa. Setidaknya dia tau, dia istimewa. Saya tidak tau, apakah dia berkacamata, berbadan tidak terlalu kurus, berambut cepak, atau akan seperti apa. Terserah. Bisa dibilang, saya mati terhadap segala kriteria rupa.

Tapi, seringkali terbayang, dia adalah sosok menyenangkan, yang tidak pernah kehabisan cerita untuk dibagi. Mendatangi saya dengan mata berbinar, antusias membicarakan mimpi, ide, dan rencananya. Membuat saya betah duduk berlamalama. Dia bisa menjawab semua pertanyaan berdasar logika. Saya membayangkan, ketika bersama dia, maka bosan itu tidak pernah ada. Dia selalu berhasil membuat saya tertawa. Saya juga membayangkan, dia jago sekali memainkan alat musik dan senang mengabadikan momen melalui kameranya. Dengan caranya, dia selalu bisa meyakinkan saya yang sering tidak yakin pada diri sendiri. Singkat kata, saya penggemarnya nomor satu.

Sebentar, saya menarik nafas sejenak sambil menuliskan ini. Bertemu saja belum, tapi sudah berekspektasi berlebihan.

Menyadari, saya bukanlah sosok menyenangkan, memiliki begitu banyak kekurangan, lalu mengapa menuntutnya kesempurnaan? Gaya bercanda saya cenderung membosankan dan membuat orang mengangkat alis sebelah. Tidak bisa memainkan alat musik apapun. Tidak bisa masak, kecuali sesederhana air dan semua yang instan. Saya juga pembosan. Saya bisa tertawa dalam menit yang kalian lihat lalu bisa nangis sesenggukan di menit berikutnya. Ini baru sebagian fakta tentang saya, akankah dia menerima seutuhnya andai tau semua tentang saya?

Tidak ada ‘bahagia selamanya’ yang saya janjikan. Tapi saya siap menjadi teman hidupnya, melewati setiap tanjakan, belokan, turunan, hingga menemukan jalanan tanpa rintangan. Saling membantu membaca rambu.

Saya tidak butuh sosok sempurna yang mengagumkan, cukup dia yang selalu hadir menenangkan ketika saya diserang kepanikan. Sebaliknya, saya bersedia meminjamkan bahu sehabis dia lelah seharian, tidak tau ke mana harus menuju.

Kami, manusia biasa yang saling bisa membuat satu sama lain luar biasa.


Original post by: @adisisme

Tulisan ini "Untuk kamu yang belum ditemukan"

Kamis, 30 Juni 2011

Pulihkan Aku

Disepertiga malam terakhir, aku terjaga. Tak lagi merasa hampa. Lukaku mengering seiring jalannya waktu. Namun perihnya masih terasa. Belum pulih benar rupanya. Otak ini masih memutar video yang sama. Masih memutar audio yang sama. Masih menyebut nama yang sama. Aku sedang dalam perjalanan. Menghindarimu. Sebutlah aku sedang dalam pelarian. Panggilah aku pengecut. Aku melangkah maju, melewati waktu. Namun jiwaku tertinggal di masa itu. Rasanya percuma nercuap-cuap disini. Toh, dia tidak akan pernah tau. Sadarlah ia telah berbahagia dengan hidupnya kini. Dan aku masih terjebak dalam sesak.

Ketika seseorang berkata, Tuhanlah yang mampu menolongmu. Aku yakin Tuhan mampu menyembuhkanku. Dan aku tak pernah menyalahkan Tuhan. Bahkan kerap kali berterimakasih. Aku paham betul maksud Tuhan. Namun rasa sakit ini tak terelakkan. Seperti tertimbun salju, dinginnya menjalar otot-otot tubuh. Rasa linu luar biasa. Menangis pun percuma. Air mata hanya mampu menghangatkan pipiku yang hampir beku.

Bukan tidak bersyukur atau merasa diri paling terluka. Aku tahu, masih ada ratusan bahkan ribuan hal menyakitkan yang akan aku alami. Yang bahkan berpuluh kali lipat lebih sakit. Aku sudah banyak mengerti. Mengerti jika aku mampu melewati rasa sakit ini, maka aku akan mampu melewati rasa sakit yang akan datang.

Allah, Tuhan semesta alam. Pulihkan aku.

Senin, 20 Juni 2011

Sawah dan kehidupannya

rumah tengah sawah
wanita paruh baya berjilbab kuning
dengan peluh membasahi baju belakang
tak perduli,
menumbuk padi kesukaannya
suara nyaring gadis kecil itu buatnya tersenyum lebar
kerut sekitar matanya menunjukan letih
sekali lagi, ia tak perduli

Jejak kakimu

jejak kaki ombak
membuat tekstur garis-garis di pasir
sama seperti scraf garis-garisku yang tertiup angin
aku berlari kecil
meninggalkan jejak kaki di sampingmu
tawa itu, suara itu, canda itu
aku terbahak, menyipitkan sedikit mataku
hendak kembali menatapmu
kamu, hilang
kembali pulang

Minggu, 05 Juni 2011

Hangat

Aku menuang kopi ke cangkir keramik, mengisinya hingga penuh. Membuat permukaan cangkir lebih hangat dari sebelumnya. Tak kalah hangat saat kopi itu melewati kerongkonganku. Dan seketika hati dan kepalaku pun menjadi hangat. Teringat isi tulisan yang kubaca sebelumnya. "Bagaimana menjadi wanita terpuji".

Wanita terpuji adalah cerminan dari apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkannya. Seorang wanita haruslah kuat menahan nafsu. Menahan semua emosi yang dapat membawanya kepada hal-hal negatif. Seorang wanita haruslah bijaksana. Atas apa yang diputuskannya. Lalu ber-istiqomah pada putusan itu. Seorang wanita haruslah berani, berani memaafkan. Berani mengungkapkan kebenaran diatas segala yang ia rasakan.

Semacam cambuk bagiku. Ya, aku wanita. Tapi jujur, tak satupun dari kategori itu aku miliki. Terutama tentang keberanian. Seorang wanita harus berani memaafkan. Aku bahkan belum yakin, apa aku sudah benar-benar memaafkannya?
Entah hati atau otakku, atau mungkin keduanya, berbisik, "Sudah saatnya" saatnya untuk apa? "Untuk memaafkannya" Aku masih belum mengerti. Kenapa aku harus memaafkannya? Aku rasa lukaku belum sembuh. Sakitku belum pulih. Bisikan itu kembali "Maka yang akan kamu rasakan hanya sakit berkepanjangan. Karena obat itu pahit. Karna memaafkan itu sulit."

Aku menutup mataku. Merasakan sekali lagi kehangatan kopi menjalar di kerongkonganku.
"Aku memaafkannya..." Sekarang, pipiku hangat.

Jumat, 03 Juni 2011

Bicara kompromi, bicara kamu

Saya pernah bilang sama kamu. Kamu bukan type saya. Tapi sedikit bicara tentang kompromi, ada pengecualian buat kamu. Ada banyak kompromi-kompromi buat kamu.
Semisal, saya tidak suka laki-laki berkulit putih, saya lebih suka yang hitam tapi sexy. Kamu, laki-laki putih yang sexy. Saya tidak suka sesuatu yang rapi, saya rasa itu sedikit membosankan. Kamu menyusun segala sesuatunya dengan rapi, saya selalu ditegur tiap kali kita makan bersama, karena mengangkat kaki ke atas kursi. Kamu bilang, saya ini perempuan. Tapi sekali lagi, kamu tidak pernah membosankan.
Kamu laki-laki yang serius, tidak dalam semua hal. Kadang kamu melakukan hal-hal konyol yang bikin saya senyum-senyum kecil saat mau tidur. Tapi kamu juga tidak selalu lucu. Leluconmu kadang terlalu maksa. Apalagi kalau saya sedang ngambek, kamu selalu memaksakan diri untuk melucu. Hal itu ga bikin saya ketawa, hal itu bikin saya bersyukur. Kamu selalu berusaha membuat saya tersenyum.
Perut gendut.
Saya kadang sebal melihat perut gendut kamu. Tapi, saya tidak pernah menganggap itu penting. Saya suka kamu :>
Saya tidak pernah mau mengakui bahwa saya sedang jatuh cinta. Mungkin sifat egois saya menguasai. Sampai saat ini pun, saya masih gengsi mengakui saya tengah jatuh cinta. Disaat saya sudah kehilangan kamu.

Saya mulai berdiskusi dengan hati. Pantaskah kompromi-kompromi itu buat kamu?

Love, K!

Sabtu, 28 Mei 2011

Mengamati dan Diamati

Seperti yang ka Theo bilang, mengamati itu menyenangkan.
Hari ini aku banyak sekali mengamati. Waktu makan sendirian, aku lebih banyak diam dan mengamati sekitarku ketimbang melahap makananku. Rasanya seperti sedang melakukan permainan "Apa yang dia pikirkan? Apa yang mereka pikirkan?". Menebak-nebak. Mengamati dengan hati.
Tepat dihadapanku ada 2 orang ibu membawa 2 orang anaknya. Satu orang anak laki-laki chubby yang berontak tidak mau menghabiskan paket kidzu bentonya. Pipinya yang tembem bergetar tiap kali dia memalingkan muka saat si ibu mencoba memasukan sesuap nasi ke mulutnya. Dengan ekspresi menyerah ibunya menaruh lagi sendok itu di atas piring. Sesekali ia mengeluh tentang anaknya yang sulit makan pada teman di hadapannya. Satu lagi anak perempuan ikal yang tidak pernah bisa diam di tempat duduknya. Gadis kecil itu sempat menengok ke arahku. Menatapku, dengan tatapan yang aku sendiri tidak tahu apa maksudnya. Mungkin ini yang disebut tatapan polos? Entahlah.
Tak jauh dari meja itu, sepasang suami istri muda tengah memperhatikan kedua anak tersebut. Sang istri tampak gemas dengan si anak laki-laki. Sedangkan suaminya tidak berhenti bertanya pada si gadis kecil. Diakhir, mereka saling melempar pandang, tersenyum dan berbisik. Mungkin mereka tengah berencana menamai anak mereka kelak. Kebahagiaan itu menular. Bahkan padaku, yang tak kenal mereka sama sekali.
Satu demi satu meja aku perhatikan, nene dengan anak perempuan dan cucu laki-lakinya, bergurau. Segerombol anak ABG yang berbincang tentang trend masa kini. Pelayan laki-laki yang masih magang. Bulak-balik membersihkan meja-meja berisi sisa makanan. Tak jarang ia tersenyum dan berteriak "Selamat datang!" pada mereka yang hendak makan. Aku selalu suka pekerja keras.

Saat itu makanan di mejaku banyak sekali. Aku tidak berniat menyusunnya. Berantakan. Tidak teratur apa dulu yang mau aku makan. Menatap makanan pun jarang, hanya terus memutar kepala memperhatikan meja demi meja. Sambil sesekali mengetik sesuatu di telepon genggamku.
Aku jadi ingin tahu, apa ya yang mereka pikirkan tentangku?
Mungkin ada salah satu dari mereka berpikir aku baru saja patah hati. Kalau iya ada, aku curiga mereka paranormal. hahaha

Kamis, 26 Mei 2011

Untuk kamu, yang belum ditemukan

halo.. semenit sebelum kamu baca tulisan ini, mungkin kita tengah berebut ya.. hahahaa aku pasti 'ga mau kamu baca surat ini, sedangkan kamu sendiri penasaran apa isinya.

atau mungkin, ini kali keduamu membacanya. yaa, aku belum tau saat ini kita sudah saling mengenal atau belum. yang jelas, saat kamu mulai membaca surat ini, aku berada di sebelahmu, menggigit bibir bawahku. perasaanku akan campur aduk saat itu. cemas, dan tentu saja, aku malu.


saat ini, aku tengah merasa gelisah. entah itu karnamu, atau karna seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dulu. kita lihat nanti.

kegelisahanku ini membuat aku mulai menutup hati, aku hanya ingin membukanya pada saat yang tepat nanti, untuk terakhir kalinya.

hey, saat ini aku tengah mempersiapkan semuanya.

aku ingin kamu mencium bau masakanku saat kamu pulang ke rumah.

aku ingin kita membaca majalah interior bersama, berdiskusi tentang warna cat rumah kita.

tak jarang kita sedikit berdebat, aku dan kamu memang punya selera yang berbeda, namun pada akhirnya kamulah satu-satunya yang mengalah.. hihihii aku suka muka dongkolmu, lucu

aku ingin kamu bersandar di pundakku saat kamu merasa berat. aku hanya akan mendengarkanmu. tanpa kata. karena dalam diamku, aku berbicara banyak.

yaaa.. tapi itu nanti.

sampai bertemu yaa

kamu, yang belum ditemukan.



Jumat, 04 Februari 2011

Surat Cinta #23 Untuk Hujan di Kota Sebrang

Terimakasih, sudah begitu ramah.
Menyambutku sejak pertama kali aku menapakkan kaki dikotamu.
Walau sebenarnya alasan kedatanganku bukanlah karenamu.
Sempat rasanya kesal saat kau datang, karena aku tidak bisa menikmati indahnya kotamu dibawah sinar matahari.
Kau tau? Sulit berjalan sambil menenteng tas, kamera dan payung dengan kedua tanganmu!
Tapi saat aku berjalan, memperhatikan sekitarku, eh? Ternyata keberadaanmu tidaklah seburuk yang kupikirkan.
Aku suka butir-butir tetesanmu yang jatuh dari ujung daun.
Aku suka bentuk bulat-bulat yang kau bentuk dengan air laut.
Aku suka caramu membuatku merinding, brrr.. dingiin..
Saat malam datang, aku mengintip kalian menari di bawah stasiun dari balik kamar tidurku. Jangan geer yaa.. Aku suka tarianmu :)
Kadang kau pergi sebentar, meninggalkan angin yang menyampaikan baumu padaku. Aku dengar darinya kau titip salam untukku.. Terimakasih. Aku tersipu :">
Aku menutup mataku.. Menarik nafas panjang. ya! Ini baumu..
Saat aku membuka mata, kau tepat dihadapanku. Tersenyum. Dan berkata "Aku kembali"
Aku? Tertunduk malu tentunya..
Hari terakhir aku dikotamu. Kau pergi cukup lama, itu sempat membuatku kecewa.
Saat aku duduk di bangku pesawat memandang kosong keluar jendela, hey! tebak siapa yang datang? Kau.. Kau datang mengantarku..
Terimakasih :) Sampai berjumpa lain kali.. Aku akan rindu sekali padamu..

Hujan di Kota Sebrang..




Singapore




Your biggest fan

Yuliani