Minggu, 05 Juni 2011

Hangat

Aku menuang kopi ke cangkir keramik, mengisinya hingga penuh. Membuat permukaan cangkir lebih hangat dari sebelumnya. Tak kalah hangat saat kopi itu melewati kerongkonganku. Dan seketika hati dan kepalaku pun menjadi hangat. Teringat isi tulisan yang kubaca sebelumnya. "Bagaimana menjadi wanita terpuji".

Wanita terpuji adalah cerminan dari apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkannya. Seorang wanita haruslah kuat menahan nafsu. Menahan semua emosi yang dapat membawanya kepada hal-hal negatif. Seorang wanita haruslah bijaksana. Atas apa yang diputuskannya. Lalu ber-istiqomah pada putusan itu. Seorang wanita haruslah berani, berani memaafkan. Berani mengungkapkan kebenaran diatas segala yang ia rasakan.

Semacam cambuk bagiku. Ya, aku wanita. Tapi jujur, tak satupun dari kategori itu aku miliki. Terutama tentang keberanian. Seorang wanita harus berani memaafkan. Aku bahkan belum yakin, apa aku sudah benar-benar memaafkannya?
Entah hati atau otakku, atau mungkin keduanya, berbisik, "Sudah saatnya" saatnya untuk apa? "Untuk memaafkannya" Aku masih belum mengerti. Kenapa aku harus memaafkannya? Aku rasa lukaku belum sembuh. Sakitku belum pulih. Bisikan itu kembali "Maka yang akan kamu rasakan hanya sakit berkepanjangan. Karena obat itu pahit. Karna memaafkan itu sulit."

Aku menutup mataku. Merasakan sekali lagi kehangatan kopi menjalar di kerongkonganku.
"Aku memaafkannya..." Sekarang, pipiku hangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar