Sabtu, 25 Mei 2013

Penggenggam Hati

Aku pernah merasa begitu terluka saat cinta tak kunjung tiba

Pernah juga merasa begitu kecewa saat rindu tak kunjung reda

Tanpa aku sadar ada cinta dan rindu yang menunggu

Cinta dan rindu yang begitu besar untukku

Lihatlah berapa banyak pengkhianatan telah aku lakukan

Namun tak lantas aku Ia tinggalkan


Sungguh Ia cintai aku tanpa tapi

KasihNya mengalir tanpa henti

deras tanpa tepi


Wahai Penggenggam Hati,

Tumbuhkan cinta dan rindu dalam diri

Agar hilang segala sepi

Agar aku sadar bahwa aku tak pernah sendiri

***

Bandung, 25 Mei 2013
untukMu, aku tak akan pernah pergi. Lagi.

Jumat, 24 Mei 2013

Ibuku, Ibu bermata satu.

Satu demi satu gerimis turun menjilati tanah merah yang sedari tadi kering. Perlahan namun pasti tetesnya lembut menyentuh ubun-ubun kepalaku saat aku masih termangu dihadapan sebuah pusara. Pusara yang didalamnya tertidur tubuh manusia yang paling mencintaiku. Ibu.

***

Ibuku adalah ibu bermata satu, entah sejak kapan.

Wajahnya kini sudah tak lagi cantik. Aku sendiri bahkan tak yakin jika dulu ibu pernah cantik. Kalau ibu cantik, kenapa ayah meninggalkan ibu? Kantung matanya yang terlihat berat semakin diperparah dengan lingkaran hitam dan kulit yang keriputnya tak dapat disembunyikan.

Ibuku berbeda dengan ibu teman-temanku. Ia tak pernah menggunakan bodylotion sehingga kulit tangan dan kakinya yang hitam menjadi kering dan pecah-pecah terkena air detergen murah yang setiap pagi ia gunakan untuk mencuci bajuku. Ibuku benar-benar berbeda dengan ibu teman-temanku. Ia... Jelek.

Siang hari ibu menggunakan waktunya untuk bekerja dikantin sekolahku. Sekolah menengah pertama negeri yang tidak begitu besar dikotaku. Aku tak pernah sekali pun menemuinya apalagi berbincang lama dengannya.

Pernah suatu hari aku marah sekali padanya, saat aku lupa membawa kotak bekalku, ibu mengantarnya sendiri ke kelas tempatku belajar. Ibu berdiri didepan pintu lalu memanggil namaku, seketika itu seisi kelas menengok ke arah pintu, termasuk aku. Hening, sampai ibu menaruh kotak bekal diatas mejaku, tersenyum, kemudian berlalu menuju kantin.

Selepas itu, teman-teman mengerubungi mejaku, mereka bertanya apa betul bibi kantin bermata satu itu adalah ibuku. Kebanyakan dari mereka mengejekku, bahkan beberapa anak laki-laki terang-terangan tertawa dengan keras. Sisanya hanya menatap iba. Sungguh, ibu membuatku marah dan malu sekali saat itu. Tuhan, jika hidup ini adil, kenapa aku harus dilahirkan dari seorang ibu yang jelek dan bermata satu?

Sepulang kerumah aku berteriak pada ibu. Sia-sia sudah usahaku selama ini menyembunyikannya dari teman-temanku. Dan yang paling menyebalkan adalah saat ia hanya bisa menunduk dan berkata "Maaf". Ia hanya membuatku semakin merasa kesal. "Ibu jelek! Aku malu! Kalau bisanya hanya membuatku malu, untuk apa lagi ibu hidup?!". Ia semakin menunduk, dan aku semakin jengkel.

***

Kerja kerasku selama belajar di Sekolah Menengah Atas kemudian berbuah manis. Aku lulus dengan nilai terbaik di kotaku. Tentu saja ini pencapaian yang luar biasa, ditambah pemerintah daerah yang menawarkan beasiswa melanjutkan S1 di universitas terkenal di ibukota. Aku menyambut tawaran itu dengan sukacita, menyiapkan segala keperluan dan segera berangkat dengan bahagia.

Aku tak berpamitan pada ibu, hanya memberitahu seperlunya. Semenjak kejadian kemarahanku, ibu tak pernah banyak bicara. Itu membuatku lebih tenang.

Aku belajar dengan rajin di ibukota, sehingga lulus dengan nilai memuaskan. Tentu saja tawaran pekerjaan dengan gaji yang besar tak sulit aku dapatkan. Begitupun dengan kenangan ibu di kotaku yang kecil dulu, dengan mudah aku lupakan.

***

"Baca dulu." ujar temanku bahkan sebelum aku sempat berkata apa-apa.

Aku kembali mengatupkan mulutku yang tadi hendak bertanya. Masih dengan dahi mengernyit aku menerima surat yang ia berikan. Ia adalah teman dekatku saat masih SMP. Aku bertemu dengannya di kota kecilku dalam acara reuni akbar setelah bertahun-tahun aku tak menginjakkan kaki disini. 

Terlihat kertas itu sudah menguning karena terlalu lama disimpan, bau anyep samar-samar singgah dihidungku. Mataku menangkap pemandangan yang tak asing, sebuah tulisan sambung yang dipaksakan, terlihat jelas bahwa sang penulis jarang menulis surat.


Anakku kesayanganku,
Aku sungguh merindukanmu sepanjang waktu
Maafkan ibu telah membuatmu begitu malu
Ibu hanya ingin bercerita tentang masa kecilmu dulu,

Anakku kesayanganku,
Kau adalah anak yang ceria dan suka tertawa
Kau memiliki mata sabit, seperti mata orang yang tersenyum
Bahkan jika kau sedang merajuk, matamu tetap terlihat manis

Anakku kesayanganku,
Saat kau bermain dengan teman sebayamu, tak sengaja kau melukai matamu
Manalah tega Ibu membiarkanmu tumbuh hanya bermata satu
Aku mendonorkan satu mataku untukmu
Ibu hanya ingin kau dapat meraih cita-citamu tanpa merasa ragu

Aku, yang mencintaimu. Selalu.


***

Ibuku, ibu bermata satu. 
Tak pernah ragu berkorban untuk anakmu. 
Sungguh agung cintamu.
Inilah aku, bersimpuh, menangis disamping makammu,
Mohon ampun darimu.

Tuhan, sungguh hidup ini terlalu adil. 
Mohon ampun, ibu.


Original writing by TakitaBercerita
Re-Write by Me :)

Minggu, 19 Mei 2013

Rahasia

Kau adalah rahasia yang tersimpan dalam kotak-kotak waktu.

Ingin rasanya sekali-sekali aku mengintip ke laul mahfuz.

Bukan nama, status sosial atau bentuk fisik yang ingin kutahu,

Melainkan atas dasar apa cintamu untukku?


***


Terinspirasi dari celetukkan temen yang kemarin sore tiba-tiba nanya,

"Wi, gimana kalau akhirnya jodoh kamu itu aku?"

Saya cuma jawab, "Gak gimana-gimana."

Ya memang saya harus gimana?

Toh, kita gak pernah tahu siapa yang 'akhirnya' jadi pasangan kita.

Mungkin seseorang yang baru kita kenal, atau seseorang yang kita kenal lama.

Mungkin dia yang sekarang dekat, atau dia yang masih jauh.

Mungkin seorang yang sekarang kita senangi, atau malah kita segani.

Ah yang penting satu visi, cukup.

Satu tujuan, cukup.

Allah.

Belut

"Yang paling menakutkan dari tumbuh dewasa adalah menjadi penakut." - @yuuiiw

***

Suasana kampus masih lengang saat aku berjalan dari parkiran menuju lapangan tempat kegiatan perayaan ulang tahun organisasiku dilaksanakan. Kami panitia masih dalam keadaan bersiap, semua hadiah dirapikan, kemudian kembali mengecek peralatan untuk lomba-lomba hari ini sembari tak sabar menunggu peserta datang.

Kami yang terikat dalam Ikatan Mahasiswa Akuntansi gempita menyambut ulang tahun organisasi yang genap berusia sepuluh tahun. Pernah sesekali ada salah satu dari adik tingkat kami yang iseng bertanya,

"Kenapa disebut Ikatan bukan Himpunan?"

"Karena kita terikat tali kekeluargaan. Bukan sekedar sekumpulan orang yang berhimpun mencapai satu tujuan." Jawabku sembarang. Karena jujur saja aku juga tak tahu mengapa disebut ikatan bukan himpunan seperti organisasi lain :p

Semakin lama suasana semakin riuh. Banyak mahasiswa akuntansi lain yang ikut bergabung dalam kegiatan ini. Satu persatu lomba diadakan, semakin diramaikan dengan kehadiran orang-orang yang selalu senang bergurau. Gelak tawa mengisi suasana lapangan.

Aku duduk dipinggir lapang, masih dalam keadaan memperhatikan tingkah teman-teman yang mengundang tawa saat setiap tim yang terdiri dari tiga orang harus masuk ke dalam sarung yang sempit dan lomba lari dengan tim lain. Kaki-kaki yang berhimpitan dipaksakan berlari kemudian terjatuh saling tumpang tindih. Tenang, satu tim tidak boleh terdiri dari lawan jenis, jadi kalau jatuh pun aman. Hehehe..

Dihadapanku, panitia lain tengah menyiapkan peralatan untuk lomba selanjutnya. Sebuah ember abu-abu dengan air yang sudah agak keruh. Aku yang penasaran mendekatkan wajahku mengintip isi ember itu. Belut! Sekitar 20 ekor belut saling mengkelit, kulitnya yang berkilat-kilat terkena sinar matahari semakin memberi efek geli untukku. Aku masih memperhatikan belut-belut yang sesekali mengangkat kepalanya ke permukaan. Semakin aku memperhatikan, semakin aku merasa takut, atau jijik, atau geli, ah apapun. Pokonya tak terbesit rasa ingin menyentuh belut-belut itu. Apalagi harus memindahkannya kedalam botol.

"Teteh mau ikut lomba belut?" Salah satu adik tingkatku yang ikut berjongkok dipinggir ember menawarkan pendaftaran lomba.

"Ah, engga. Bau amis. Hehe." Kilahku tak yakin itu alasan yang jujur atau bukan.
"Fika mau ikut ga?" Aku malah bertanya balik.

"Engga ah, geli. Hehehe.. Padahal dulu, waktu kecil, aku sering ikut lomba belut loh, teh. Malah sering menang. Sekarang ga mau ah hahaha."

Hey! Dulu juga aku suka main lomba belut. Saking seringnya menang, aku bahkan bisa mengajarkan teman-temanku bagaimana cara menangkap belut yang baik agar belut tidak mudah terlepas dari genggaman. Tapi siang ini, aku malah ciut. Lihat kepala belut rasanya jadi ngeri, belum lagi licin, belum lagi bau amis.

Ya Tuhan, baru aku sadar seiring berjalannya waktu ternyata banyak yang berubah. Bukan hanya tinggi tubuh yang bertambah beberapa centi atau berat tubuh yang bertambah beberapa kilo, tapi juga semakin banyaknya perubahan dalam menyikapi dan menghadapi sebuah keadaan.

Aku yang mungkin sepuluh tahun lalu, tak pernah berpikir tentang bau amis atau kepala belut sekarang malah tak berpikir tentang betapa asiknya main belut basah-basah sambil tertawa seperti sepuluh tahun lalu.

Inikah aku yang dewasa? Bukan aku yang kekanakan sepuluh tahun lalu? Yang aku tahu, kebanyakan dari orang dewasa takut dalam mengambil keputusan. Terlalu banyak menimbang-nimbang resiko, kemudian memutuskan untuk tidak mengambil keputusan. Jalan ditempat.

Lantas, inikah aku yang dewasa?

***


Ya Rabb, 
jadikanlah waktu yang pergi sebagai proses pendewasaan,
proses perubahan,
dari kemarahan menjadi kesabaran,
kekecewaan menjadi harapan,
masalah menjadi tantangan.
Aamiin.

Selasa, 14 Mei 2013

Yang Biasa Saja

Yang biasa saja.

Cukup ia tahu aku ada.
Cukup aku tahu ia ada.

Yang biasa saja.

Nyaman dalam diam.

Yang biasa saja.

Tak menyerah pada keadaan.
Apalagi pada aku yang serba kekurangan.

Yang biasa saja.

Melukis, bukan menulis.

“Orang boleh pandai dalam setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” - Pramoedya Ananta Toer


Saya menulis, ah bukan, saya melukis. Melukis pemandangan dengan kata sebagai kuasnya.

Saya mulai menulis berawal dari semakin riuhnya kata-kata yang hilir mudik dipikiran saya selama ini. Kata-kata yang saya temukan dari buku yang saya baca, dari curahan hati teman tentang pujaan hatinya, dari posting twitter, dari baligo-baligo aktifis tentang perjuangan, dari mana saja.

Tapi dari semua kata itu, hanya beberapa yang bisa dituangkan dalam tulisan, sisanya terlupakan. Mungkin terbang dibawa angin saat perjalanan pulang atau terbawa air mandi sebelum tidur.

Saya merangkai kata-kata yang saya temukan seperti remaja perempuan yang sedang gemar-gemarnya memadupadankan pakaian dan rok-rok panjang supaya sedap dipandang.

Setiap kali saya menulis, saya memuntahkan semua yang ada dalam pikiran saya, seperti teko berisi air yang ingin menuangkan air pada gelas-gelas kosong. Kemudian siap diisi oleh air yang baru. Saya menulis sesuka saya. Sampai saya puas. Sampai saya merasa lega. Hampir tidak peduli dengan waktu, tidak peduli dengan apa pendapat pembaca. Saya hanya ingin menulis, melukis pemandangan, perasaan, lewat kata, sesuka saya. Sesuka saya.

Sampai beberapa minggu lalu saya kebetulan mengikuti sebuah seminar tulis yang narasumbernya adalah salah satu penulis favorit saya. Yaitu, Darwis Tere Liye. 

Dalam salah satu sesi beliau bertanya, untuk apa menulis?
Saya sendiri belum tahu, untuk apa saya menulis?

Seumpama kamu mandi, untuk apa kamu mandi? Supaya badan kamu tidak bau. Tapi ternyata manfaat kamu mandi juga dirasakan oleh orang-orang sekitarmu. Misalnya, mereka jadi tidak perlu bersusah-susah menghirup udara tidak sedap yang berasal dari bau tubuhmu.

Jadi, untuk apa saya menulis? 
Apa manfaat yang akan dirasakan oleh orang-orang yang baca tulisan saya?

Kemarin, seseorang menyampaikan pesan pada saya lewat aplikasi Whatsapp, "Setelah baca tulisan kamu, aku jadi semangat nulis lagi nih."

Luar biasa! Saya baru sadar bahwa strata tertinggi dari kebahagiaan seseorang yang menulis adalah menularkan semangat menulis! Saya ingin lebih banyak lagi menebar manfaat lewat tulisan.

Lantas, bagaimana caranya menulis?
Tidak ada solusi lain untuk menulis selain, mulailah menulis.

Bagaimana bisa sebuah teko mengisi gelas-gelas kosong, sedang teko itu sendiri kosong?

Membaca;
Mengamati tempat, keadaan atau kegiatan dengan detail;
Mendengarkan cerita, pendapat, sudut pandang seseorang.

bisa menjadi alternatif untukmu memulai sebuah tulisan.
Apa saja.
Sesukamu.




Kalau ingin memiliki materi yang diberikan bang Tere Liye, bisa diunduh disini.

Go write and shine! :)


*****

Jumat, 10 Mei 2013

Pelangi

Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk berkutat didepan sebuah monitor komputer berukuran 21 inch dengan raut wajah serius. Sesekali pandangannya beralih ke sebuah laptop macintosh disebelah kanan monitor, tangannya sibuk menggeser-geser dan menekan mouse sedangkan kepalanya kadang mengangguk-angguk seperti tengah menimang-nimang sesuatu dengan seksama. Aku miringkan tubuhku sedikit ke sebelah kiri, mengintip kearah monitor komputer, kemudian sebuah sketsa yang belum sepenuhnya diwarnai menyembul diatasnya. Sejak hari pertama ia mengenalkan diri padaku hingga hari ini, banyak yang tak aku mengerti tentangnya ataupun tentang dunianya. Aku tak mengerti apa kegunaan khusus layar besar dan laptop canggih itu. Aku tak mengerti sketsa apa yang sedang ia gambarkan. Tidak mengerti kenapa hapir sebagian besar sketsanya selalu ada pelangi. Yang aku mengerti hanya, ia menikmatinya. Desain grafis.

"Udah selesai baca bukunya?" Tanyanya tiba-tiba, seakan tahu aku memandangi punggungnya sedari tadi.

"Eh? Belum. Masih sedikit lagi." Aku tersenyum malu, merasa tertangkap basah sedang mengaguminya. Seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Entah sejak dan sampai kapan.

Aku melepas kacamataku lalu menyelipkan pembatas buku dihalaman terakhir aku membacanya, pembatas buku berupa daun kering yang sembarang aku ambil saat kami berlibur menikmati musim gugur di Jepang. Oh baiklah, aku yang berlibur sedangkan suamiku bekerja untuk salah satu perusahaan animasi.

"Pelangi lagi?"

"Iya," sahutnya lembut. Sebuah senyum terbit dari bibirnya, tipis saja.

"Selama ini, kamu gak pernah cerita kenapa kamu suka pelangi?"

Ia menghentikan tangan kanannya dari kesibukan menggeser-geser mouse, lalu membalikkan punggung dan mendapatiku dengan wajah antara berpikir heran dan memelas minta penjelasan. Dipandangi agak lama, ternyata membuatku grogi juga, padahal sudah lebih dari setengah tahun semenjak kami menikah. Ia menarik nafas panjang lalu mengedarkan pandangannya ke langit-langit ruang kerja kami.

"Karena menurutku, kita harus menjalani hidup seperti pelangi."

"Maksudnya? Penuh warna?"

"Emm.. Iya, tapi bukan cuma itu. Kamu tahu gimana proses terjadinya pelangi?"

"Aku bukan anak IPA." jawabku asal.

"Hehe maaf, pelangi itu terjadi karena pembiasan cahaya oleh butir-butir air. Ketika cahaya matahari melewati butiran air, ia membias seperti ketika melalui prisma kaca kemudian dari tetes-tetes air tersebut muncullah warna yang berbeda tergantung panjang gelombangnya."

Aku mengangguk-angguk takzim, "Terus?"

"Sederhananya gini, pelangi hanya bisa dilihat saat hujan bersamaan dengan sinar matahari. Tapi kenapa pelangi tidak selalu terlihat oleh kita? Karena untuk melihat pelangi, posisi kita harus menghadap tetesan air sedangkan matahari tepat dibelakang. Kita harus berada diantaranya.

Sekarang apa hubungannya dengan menjalani hidup? Anggaplah matahari adalah kesulitan dan tetes hujan adalah kemudahan. Jika kita menjalani hidup hanya dengan sibuk memikirkan kesulitan, tentu hanya nelangsa yang kita rasakan. Jika kita menjalani hidup dengan sibuk memikirkan kemudahan, kita bisa menjadi seseorang yang sombong dan arogan.

Coba kita jalani dan nikmati hidup diantara keduanya, tentu yang kita dapat adalah keindahan. Warna-warni dari kesulitan dan kemudahan."

"Subhanallah.." lirihku.

Setengah tahun kami jalani, tak satu hari pun ia lupa membuatku jatuh hati lagi padanya. Seperti hari ini misalnya. Terimakasih..



***TAMAT***


Kata kunci: Pelangi (Yuliani)

Rabu, 08 Mei 2013

Bluetooth V21.1 System

Tampias air kecil-kecil yang terpantul dari bebatuan air terjun ini mulai membuat wajah dan rambutku kuyup, membuat aku nampak seperti habis mandi. Walau begitu, aku masih asik duduk-duduk sambil mencelupkan kakiku di atas sebuah batu berukuran sedang dipinggir sungai Biskori, Sulawesi. Kupejamkan mataku, mencoba menikmati suara gemuruh air terjun Moramo dan menghirup bau daun basah disekelilingku. Semakin lama aku memejamkan mata, air yang dingin dikakiku mulai terasa surut. Bau daun basah yang kuhirup sedetik lalu berubah menjadi wangi lavender. Bahkan kini suara air terjun tujuh tingkat itu berdengung tak tentu ditelingaku perlahan berubah menjadi bunyi alarm. Semua yang tadi kulihat, lambat namun pasti lenyap menjelma sebuah langit-langit putih. Dahiku berkerut, sedikit kecewa karena kini aku tengah terbangun dikamarku. Ternyata hanya sebuah bunga tidur.

 ***

Aku melangkahkan kaki cepat menghampiri sebuah mesin kecil berbentuk kotak berwarna biru safir yang menggantung diruang kerjaku. Aku meletakkan jempolku pada mesin itu kemudian memejamkan mata sejenak. Sebuah layar besar disampingku tak lama menampilkan sederet huruf "Success". Aku menghela nafas lega, hampir saja aku terlambat menyetorkan deadline tulisanku hari ini. Perkenalkan, aku adalah seorang pendongeng, orang-orang disekelilingku sering menyebutku penulis. Walau sesungguhnya aku tidak benar-benar menulis, karena masyarakat kota kami tak pernah lagi menggunakan kertas seperti yang orang jaman purba lakukan. File yang aku kirim tadi akan diterima oleh tim editor ditempat kerjaku kemudian dengan cepat disebarkan pada seluruh masyarakat kota yang akan mereka terima melalui Bluetooth V21.1.

Setiap tubuh bayi yang baru lahir dikota ini, akan ditanamkan sebuah software super kecil yang kami sebut Bluetooth V21.1 dilengkapi sebuah mesin berukuran saku seragam anak sekolah sebagai layar kontrol. Bluetooth V21.1 adalah sebuah software yang dikembangkan oleh pemerintah kota untuk kami berbagi. Berbagi apapun. Mulai dari informasi, upah kerja, tugas sekolah, sampai hal-hal yang menyangkut perasaan seperti kasih sayang, kami bagi lewat software ini.

Udara pagi ini terasa lebih dingin dari kemarin, agaknya dinas daerah yang mengatur cuaca kota kami mendatangkan musim dingin terlalu cepat. Tapi aku tetap memutuskan untuk berjalan-jalan keluar rumah. Gemeletuk sepatu hak tinggiku menelusuri trotoar. Aku mengedarkan pandangan, terlihat pohon-pohon yang daunnya sudah mulai berubah warna seiring datangnya musim dingin. Jika kau datang ke kota kami, cobalah dekati dan sentuh salah satu pohon itu. Sebenarnya pohon-pohon itu terbuat dari plastik yang wangi dan warna daunnya dapat kami setting. Namun hanya dinas daerah yang berhak merubah-rubah setting setiap pohon dikota kami. Pohon yang asli sudah lama punah. Aku baru mengetahui bahwa pohon yang sebenarnya itu tidak terbuat dari plastik semenjak belajar pelajaran biologi di sekolah menengah. Sebelumnya, aku tak pernah tahu.

Berjalan-jalan seperti ini biasanya aku lakukan saat sedang membutuhkan inspirasi untuk naskah dongengku selanjutnya. Atau seperti saat ini, sekedar meregangkan otot-otot tubuh setelah semalaman menyelesaikan dongeng tentang negeri antah berantah yang aku beri nama Indonesia. Pada negeri itu, aku menceritakan sebuah alam yang indah. Masih banyak hutan dengan pohon-pohon yang daunnya berwarna hijau segar. Didalam hutan itu banyak binatang yang berbahaya seperti harimau, ular, serigala sampai yang tidak berbahaya seperti kera dan rusa. Musim di negeri ini berubah dengan sendirinya sesuai waktu tanpa ada campur tangan manusia. Air bersih dapat ditemukan dimana saja, udara yang segar pun dapat kita hirup setiap hari.

Aku tersenyum kecil mengingat kembali dongeng yang baru saja aku kirimkan pada editor tempatku bekerja. Inilah kenapa aku memilih menjadi seorang pendongeng. Aku bisa menceritakan tentang apa saja, semauku. Bahkan tentang negeri antah berantah yang tak masuk akal kebenaran dan keberadaannya.


***TAMAT***


Jika kau mulai bertanya, apa Tuhan cukup adil?
Jika kau mulai meragukan, apa Tuhan cukup baik?
Jika kau mulai mencemaskan, nikmat apa yang telah Tuhan beri untukmu?
Berkunjunglah sekali-kali ke negeriku. Indonesia.



Kata kunci: Bluetooth (Indriyani Octavia)

Senin, 06 Mei 2013

Kiri dan Kanan

Terkisah hiduplah dua orang anak laki-laki kembar pada sebuah pedesaan, mereka bernama Kiri dan Kanan. Layaknya anak kembar lain, sedari kecil mereka selalu disama-samakan dalam berbagai hal. Mulai dari pakaian sampai perhatian orang tua terbagi sama. Kemanapun Kiri pergi, pasti ada Kanan. Apapun yang dilakukan Kanan, tak pernah tanpa Kiri. Karena dilahirkan identik, apabila salah satu dari mereka sakit, yang lain pasti ikut merasakan sakit.

Hingga pada suatu senja, mereka kedatangan tamu dari kota. Salah satunya adalah cucu Kek Atuk yang rumahnya hanya beberapa langkah saja dari rumah Kiri dan Kanan. Anak laki-laki itu berperawakan kurus dan cukup tinggi pada seusianya. Sore itu mereka bermain sangat seru, mulai dari main mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali milik Kiri dan Kanan sampai main perang-perangan bersenjatakan pistol dari bambu.
Anak dari kota itu sangat senang bermain dengan Kiri dan Kanan, sampai sebelum pulang, anak itu memberikan sebuah mobil-mobilan yang terbuat dari bahan kaleng. Konon, harga mainan ini sangat mahal. Dan tentu saja hanya bisa dibeli di kota.

Kiri yang merupakan kakak beberapa menit dari Kanan merasa ia yang harus memiliki mainan itu. Sedang Kanan yang merasa seorang kakak seharusnya mengalah, malah menangis sejadi-jadinya saat Kiri mengambil mobil kaleng dari tangan Kanan. Satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada satu pun yang mau meredakan egonya. Masing-masing merasa berhak atas mainan itu dibanding saudaranya yang lain. Mereka kini saling berebut, saling tarik-menarik mobil-mobilan kaleng tersebut. Yang terjadi bukannya salah satu dari mereka menang, malah mobil itu terjatuh dan penyok di bagian bannya. Sehingga sulit dijalankan karena bannya kini tidak bulat sempurna.

Kiri mulai menyalahkan Kanan atas kejadian penyoknya mobil kaleng itu. Kanan yang merasa itu bukan salahnya, malah balik menyalahkan Kiri. Satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada satu pun yang mau meredakan egonya. Masing-masing merasa berhak atas mainan itu dibanding saudaranya yang lain. 

Sejak saat itu, Kiri dan Kanan tak pernah satu jalan.


***TAMAT***

Itulah kenapa saat ini kita tidak pernah bisa memilih kiri dan kanan pada saat bersamaan.


Kata kuci: Kiri dan Kanan (Yuliani)

Minggu, 05 Mei 2013

Peduli (?)

Kebanyakan dari kita bukanlah orang jahat. Sebagian besar hanya peduli pada dirinya sendiri. Apa yang salah dengan hanya peduli pada diri sendiri? Toh ketidakpedulian bukan bentuk kriminalitas. Lantas, kenapa tidak mencoba berhenti untuk peduli?


Sudah berkali-kali aku menekan nomor yang itu-itu lagi, namun acapkali yang kudengar hanya suara operator menjawab datar setiap panggilanku. Sungguh, yang paling melelahkan dari menunggu adalah saat tak ada yang dapat memastikan dimana ujung lorong penantian. Kubanting pelan tubuhku ke atas kasur, antara lelah dan pasrah.

Sekilas kulirik jam dinding biru langit yang menggantung persis diatas tempat tidurku, jarum pendeknya menunjuk angka sebelas sedang jarum detik bergerak lebih lambat dari biasanya.


"Gak bisa tidur nih." Sebuah pesan pendek aku kirimkan pada teman lewat jejaring media sosial yang tak memakan waktu banyak untuk mendapat balasan.

"Kenapa?"

"Nunggu adik, belum pulang."

"Mungkin kejebak macet atau ada urusan penting."

"Mungkin. Kenapa ya kita harus punya kepedulian sama orang lain?"

"Yaelah, jangan mulai melankolis deh. Ya, because you love her."

"Kalau itu sih gue juga tau. Ke orang yang bukan keluarga beda kasus dong?"

Setelah agak lama aku tatap layar telepon genggamku, akhirnya lampu led di ujung kanan telepon genggamku berkedip tanda masuk pesan baru.

"Hmm... Mungkin... Karena lo ga akan pernah berhenti mencintai seseorang. Walau ingin. Udah ah, ngaco nih. Gue ngantuk. Bye."

"Mungkin."