Satu demi satu gerimis turun menjilati tanah merah yang sedari tadi kering. Perlahan namun pasti tetesnya lembut menyentuh ubun-ubun kepalaku saat aku masih termangu dihadapan sebuah pusara. Pusara yang didalamnya tertidur tubuh manusia yang paling mencintaiku. Ibu.
***
Ibuku adalah ibu bermata satu, entah sejak kapan.
Wajahnya kini sudah tak lagi cantik. Aku sendiri bahkan tak yakin jika dulu ibu pernah cantik. Kalau ibu cantik, kenapa ayah meninggalkan ibu? Kantung matanya yang terlihat berat semakin diperparah dengan lingkaran hitam dan kulit yang keriputnya tak dapat disembunyikan.
Ibuku berbeda dengan ibu teman-temanku. Ia tak pernah menggunakan
bodylotion sehingga kulit tangan dan kakinya yang hitam menjadi kering dan pecah-pecah terkena air detergen murah yang setiap pagi ia gunakan untuk mencuci bajuku. Ibuku benar-benar berbeda dengan ibu teman-temanku. Ia... Jelek.
Siang hari ibu menggunakan waktunya untuk bekerja dikantin sekolahku. Sekolah menengah pertama negeri yang tidak begitu besar dikotaku. Aku tak pernah sekali pun menemuinya apalagi berbincang lama dengannya.
Pernah suatu hari aku marah sekali padanya, saat aku lupa membawa kotak bekalku, ibu mengantarnya sendiri ke kelas tempatku belajar. Ibu berdiri didepan pintu lalu memanggil namaku, seketika itu seisi kelas menengok ke arah pintu, termasuk aku. Hening, sampai ibu menaruh kotak bekal diatas mejaku, tersenyum, kemudian berlalu menuju kantin.
Selepas itu, teman-teman mengerubungi mejaku, mereka bertanya apa betul bibi kantin bermata satu itu adalah ibuku. Kebanyakan dari mereka mengejekku, bahkan beberapa anak laki-laki terang-terangan tertawa dengan keras. Sisanya hanya menatap iba. Sungguh, ibu membuatku marah dan malu sekali saat itu. Tuhan, jika hidup ini adil, kenapa aku harus dilahirkan dari seorang ibu yang jelek dan bermata satu?
Sepulang kerumah aku berteriak pada ibu. Sia-sia sudah usahaku selama ini menyembunyikannya dari teman-temanku. Dan yang paling menyebalkan adalah saat ia hanya bisa menunduk dan berkata "Maaf". Ia hanya membuatku semakin merasa kesal. "Ibu jelek! Aku malu! Kalau bisanya hanya membuatku malu, untuk apa lagi ibu hidup?!". Ia semakin menunduk, dan aku semakin jengkel.
***
Kerja kerasku selama belajar di Sekolah Menengah Atas kemudian berbuah manis. Aku lulus dengan nilai terbaik di kotaku. Tentu saja ini pencapaian yang luar biasa, ditambah pemerintah daerah yang menawarkan beasiswa melanjutkan S1 di universitas terkenal di ibukota. Aku menyambut tawaran itu dengan sukacita, menyiapkan segala keperluan dan segera berangkat dengan bahagia.
Aku tak berpamitan pada ibu, hanya memberitahu seperlunya. Semenjak kejadian kemarahanku, ibu tak pernah banyak bicara. Itu membuatku lebih tenang.
Aku belajar dengan rajin di ibukota, sehingga lulus dengan nilai memuaskan. Tentu saja tawaran pekerjaan dengan gaji yang besar tak sulit aku dapatkan. Begitupun dengan kenangan ibu di kotaku yang kecil dulu, dengan mudah aku lupakan.
***
"Baca dulu." ujar temanku bahkan sebelum aku sempat berkata apa-apa.
Aku kembali mengatupkan mulutku yang tadi hendak bertanya. Masih dengan dahi mengernyit aku menerima surat yang ia berikan. Ia adalah teman dekatku saat masih SMP. Aku bertemu dengannya di kota kecilku dalam acara reuni akbar setelah bertahun-tahun aku tak menginjakkan kaki disini.
Terlihat kertas itu sudah menguning karena terlalu lama disimpan, bau anyep samar-samar singgah dihidungku. Mataku menangkap pemandangan yang tak asing, sebuah tulisan sambung yang dipaksakan, terlihat jelas bahwa sang penulis jarang menulis surat.
Anakku kesayanganku,
Aku sungguh merindukanmu sepanjang waktu
Maafkan ibu telah membuatmu begitu malu
Ibu hanya ingin bercerita tentang masa kecilmu dulu,
Anakku kesayanganku,
Kau adalah anak yang ceria dan suka tertawa
Kau memiliki mata sabit, seperti mata orang yang tersenyum
Bahkan jika kau sedang merajuk, matamu tetap terlihat manis
Anakku kesayanganku,
Saat kau bermain dengan teman sebayamu, tak sengaja kau melukai matamu
Manalah tega Ibu membiarkanmu tumbuh hanya bermata satu
Aku mendonorkan satu mataku untukmu
Ibu hanya ingin kau dapat meraih cita-citamu tanpa merasa ragu
Aku, yang mencintaimu. Selalu.
***
Ibuku, ibu bermata satu.
Tak pernah ragu berkorban untuk anakmu.
Sungguh agung cintamu.
Inilah aku, bersimpuh, menangis disamping makammu,
Mohon ampun darimu.
Tuhan, sungguh hidup ini terlalu adil.
Mohon ampun, ibu.