Sabtu, 15 Juni 2013

One Litre of Tears



One Litre of Tears (2005) 

Diangkat dari kisah nyata tentang perjuangan seorang gadis melawan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Penyakit yang menyerang otot-otot tubuhnya sehingga cepat atau lambat akan mengalami kelumpuhan. Sebenarnya ini film lama yang berbentuk drama, hanya saja kemarin malam saya iseng menelurusi sebuah blog dan menemukan cerita ini dalam bentuk film--seseorang membuat versi pendek dari drama Jepang ini. Kalau ada yang iseng juga mau nonton, bisa tonton disini :)

***

Ibu, kali ini aku bukan ingin bercerita tentang bagaimana semangat gadis itu memperjuangkan hidup, atau bagaimana ia dengan sabar melawan penyakit yang menggerogotinya. Meski itu tetap poin hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini.

Ibu, satu jam pertama aku mulai bertanya jika aku adalah dia, akankah ada seseorang yang meski sepanjang waktu aku harus duduk dikursi roda, ia akan tetap berjalan disampingku tanpa merasa malu?

Akankah ada seseorang yang meski aku tak dapat lagi berbicara, ia akan tetap tersenyum padaku dan berkata semua akan baik-baik saja?

Akankah ada seseorang yang memelukku saat aku merasa takut meski sekadar untuk menutup mata?

Akankah ada, bu?

Sedikit banyak aku cemburu pada gadis dalam cerita itu. Bagaimana bisa ia dikelilingi oleh mereka yang begitu tulus mencintainya? Aku semakin gamang ketika tanya yang menggelantung membuat rasa ragu menggelembung. 

Atas semua pertanyaan itu, egoiskah aku? batinku.

Tapi ibu, bukankah egois adalah bagian dari manusiawi? Ketika kita selalu menempatkan diri pada titik paling menderita. Menempatkan diri seolah kita paling terluka. Berharap seseorang datang dan menemani dengan setia. Lupa, bahwa setiap manusia mengharap hal yang sama.

Ibu, pada akhir cerita aku paham mengapa gadis itu dikelilingi oleh mereka yang dengan tulus mencintainya. Ya, kau benar tentang apa yang datang dari hati akan tepat mengenai hati. Karena gadis itu tulus mencintai.

Kita tak akan pernah tahu berapa kata maaf dan terimakasih yang disampaikan dari hati bukan sekadar basa-basi. Biar itu jadi urusan Tuhan penggenggam hati.

 Ibu, aku berhenti berpura-pura. 
Berhenti berharap akan datang seseorang yang mencintaiku apa adanya. 


Aku ingin mulai bertanya, akan mampukan aku menemani seseorang yang meski ia duduk diatas kursi roda, meski ia tak dapat lagi bicara, meski seluruh dunia mengkhianatinya, aku akan tetap memeluknya dan berkata semua akan baik-baik saja?

Rabu, 05 Juni 2013

Is it true that "Money can't buy happiness"?

Percakapan menjelang tidur selalu menyenangkan. Saya yang duduk bersila menghadap ibu dengan televisi dibalik punggung sambil pelan memijit betis kakinya akan menceritakan apa yang saya alami, siapa yang saya temui, dan pelajaran apa yang saya dapatkan hari ini. Kemudian Ayah akan diam-diam mencuri dengar ceritaku dibalik laptopnya sambil sesekali berkomentar pada topik yang sedang saya dan ibu bicarakan. Mungkin salah satu hiburan baginya mendengar celoteh ngalor-ngidul anak pertamanya yang kadang masih kekanakan. Sebetulnya saya tak pernah benar-benar tertarik pada acara televisi, tapi sampai saat ini ruang televisi masih menjadi salah satu ruang favorit saya. Karena disinilah seringkali kami melakukan ritual percakapan sebelum tidur.


"Itu artis yang beli tas satu milyar siapa ya namanya, lupa." Komentar ibuku yang sedari tadi memperhatikan sekelebat tayangan televisi ditengah-tengah percakapanku tentang hari ini.


"Buat apa?"

"Buat dijual lagi katanya."

"Emang ada yang mau beli tas satu milyar?"

"Jangankan tas satu milyar, permen karet yang habis dikunyah pelatih sepakbola terus dimasukkin ke kotak kaca dijual enam milyar pun ada yang mau beli." Ayah yang sedari tadi berkutat dibelakang laptop akhirnya angkat bicara.

"Padahal buat apa ya.. Toh setelah beli itu pun mereka akan tetap merasa ada yang kurang."
Komentarku menyisakan hening sesaat sebelum akhirnya berganti pada topik pembicaraan yang lain.

***

Sebetulnya saya tak satu paham dengan mereka yang mengatakan bahwa uang tak dapat membeli kebahagiaan.Tentu saja uang dapat membeli kebahagiaan. Pertanyaan hanyalah kebahagiaan seperti apa?

Bagi saya strata tertinggi dari kebahagiaan adalah saat saya dikelilingi oleh orang-orang yang bahagia.

Sederhananya, pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang hangat menelusup dibalik hati saat kamu mengeluarkan receh dari kantung seragammu, lalu dibalas dengan senyum polos anak kecil diperempatan saat lampu merah? Pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang mencelos, menyisakan lubang dalam hatimu saat kamu memperhatikan kakek-kakek yang dihujani klakson mobil atau motor saat ia bersusah payah menarik gerobak sampah yang mungkin salah satu kantungnya berasal dari rumahmu?

Seorang suami yang bersusah-susah mencari uang tidak lantas bahagia saat ia menghabiskan uangnya sendirian. Ia akan secara otomatis bahagia saat anak-anaknya lahap, saat anak-anaknya dapat memakai baju yang cantik, dan saat anak-anaknya mendapat fasilitas terbaik untuk pendidikan.

Seorang istri yang menerima uang dari suaminya tidak lantas bahagia saat ia menghabiskan uangnya sendirian. Ia akan secara otomatis bahagia saat suaminya pulang kerumah dan mendapati nasi mengepul dengan lauk yang sepenuh hati disiapkan oleh sang istri.

Seorang anak akan secara otomatis bahagia saat ia dapat mencukupi kehidupan senja orangtuanya. Terlepas dari kewajibannya menjadi anak yang berbakti.

Tapi saya satu paham dengan pepatah yang mengatakan bahwa,
"Someone said 'money can't buy happiness' just because they didn't spent it right."


Bagi saya, hidup sesederhana memberi.

Sabtu, 01 Juni 2013

Life Learner

Diary! Malam ini menulis diary di blog. Jadi tulisan kali ini akan benar-benar seperti diary.

01 Juni 2013.
Quote of the day, "Humankind can't gain anything without first giving something in return. To obtain, something of equal value must be lost." - Concept of The Alchemy. That's first law of Equivalent Exchange.
Yap! Saya belajar bahwa keberhasilan selalu berbanding lurus dengan kadar kepayahan seseorang.

Hari ini seorang dosen mengumumkan hasil ujian. Daaaan jengjeeeng.. Nilai saya jungkir balik. Belum nilai akhir sih, tapi tetep aja bikin kepikiran. Sebetulnya sebelum diumumkan nilai pun saya sudah merasa nilai saya akan jungkir balik. Sebelum ujian, persiapan kurang matang ditambah ada beberapa hal yang membuat saya semakin tidak fokus mempersiapkan ujian. Entah karena merasa diatas angin setelah nilai kuis yang agak 'lumayan'.

Anehnya, walau saya yang merasa sudah tahu nilai saya tidak akan memuaskan, saat mengetahui bahwa nilai saya benar-benar tidak memuaskan, tetap merasakan kesedihan luar biasa.

Lucu kan, bagaimana seseorang tetap menyalahkan keadaan saat mereka sebetulnya paham akan kesalahan yang mereka lakukan?

Tapi sungguh, setiap kejadian bukan kebetulan apalagi sekadar gurauan Tuhan. Pasti dan harus ada pembelajaran. Yah, that's how life works. Akan ada banyak kegagalan didepan nanti, kalau yang sekecil ini saja mampu membuat saya terantuk, tak perlulah menunggu lama untuk terjatuh.

"20tahun dari sekarang, kita akan lebih banyak menyesali apa yang tidak kita lakukan daripada yang kita lakukan--walau itu salah" - Tere Liye

Tak perlu menunggu 20tahun, saya menyesal tidak belajar dengan maksimal beberapa hari lalu :p hehe.

그냥 힘내세요, 우외야 ( 'o')9
Bismillah..