Kamis, 30 Juni 2011

Pulihkan Aku

Disepertiga malam terakhir, aku terjaga. Tak lagi merasa hampa. Lukaku mengering seiring jalannya waktu. Namun perihnya masih terasa. Belum pulih benar rupanya. Otak ini masih memutar video yang sama. Masih memutar audio yang sama. Masih menyebut nama yang sama. Aku sedang dalam perjalanan. Menghindarimu. Sebutlah aku sedang dalam pelarian. Panggilah aku pengecut. Aku melangkah maju, melewati waktu. Namun jiwaku tertinggal di masa itu. Rasanya percuma nercuap-cuap disini. Toh, dia tidak akan pernah tau. Sadarlah ia telah berbahagia dengan hidupnya kini. Dan aku masih terjebak dalam sesak.

Ketika seseorang berkata, Tuhanlah yang mampu menolongmu. Aku yakin Tuhan mampu menyembuhkanku. Dan aku tak pernah menyalahkan Tuhan. Bahkan kerap kali berterimakasih. Aku paham betul maksud Tuhan. Namun rasa sakit ini tak terelakkan. Seperti tertimbun salju, dinginnya menjalar otot-otot tubuh. Rasa linu luar biasa. Menangis pun percuma. Air mata hanya mampu menghangatkan pipiku yang hampir beku.

Bukan tidak bersyukur atau merasa diri paling terluka. Aku tahu, masih ada ratusan bahkan ribuan hal menyakitkan yang akan aku alami. Yang bahkan berpuluh kali lipat lebih sakit. Aku sudah banyak mengerti. Mengerti jika aku mampu melewati rasa sakit ini, maka aku akan mampu melewati rasa sakit yang akan datang.

Allah, Tuhan semesta alam. Pulihkan aku.

Senin, 20 Juni 2011

Sawah dan kehidupannya

rumah tengah sawah
wanita paruh baya berjilbab kuning
dengan peluh membasahi baju belakang
tak perduli,
menumbuk padi kesukaannya
suara nyaring gadis kecil itu buatnya tersenyum lebar
kerut sekitar matanya menunjukan letih
sekali lagi, ia tak perduli

Jejak kakimu

jejak kaki ombak
membuat tekstur garis-garis di pasir
sama seperti scraf garis-garisku yang tertiup angin
aku berlari kecil
meninggalkan jejak kaki di sampingmu
tawa itu, suara itu, canda itu
aku terbahak, menyipitkan sedikit mataku
hendak kembali menatapmu
kamu, hilang
kembali pulang

Minggu, 05 Juni 2011

Hangat

Aku menuang kopi ke cangkir keramik, mengisinya hingga penuh. Membuat permukaan cangkir lebih hangat dari sebelumnya. Tak kalah hangat saat kopi itu melewati kerongkonganku. Dan seketika hati dan kepalaku pun menjadi hangat. Teringat isi tulisan yang kubaca sebelumnya. "Bagaimana menjadi wanita terpuji".

Wanita terpuji adalah cerminan dari apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkannya. Seorang wanita haruslah kuat menahan nafsu. Menahan semua emosi yang dapat membawanya kepada hal-hal negatif. Seorang wanita haruslah bijaksana. Atas apa yang diputuskannya. Lalu ber-istiqomah pada putusan itu. Seorang wanita haruslah berani, berani memaafkan. Berani mengungkapkan kebenaran diatas segala yang ia rasakan.

Semacam cambuk bagiku. Ya, aku wanita. Tapi jujur, tak satupun dari kategori itu aku miliki. Terutama tentang keberanian. Seorang wanita harus berani memaafkan. Aku bahkan belum yakin, apa aku sudah benar-benar memaafkannya?
Entah hati atau otakku, atau mungkin keduanya, berbisik, "Sudah saatnya" saatnya untuk apa? "Untuk memaafkannya" Aku masih belum mengerti. Kenapa aku harus memaafkannya? Aku rasa lukaku belum sembuh. Sakitku belum pulih. Bisikan itu kembali "Maka yang akan kamu rasakan hanya sakit berkepanjangan. Karena obat itu pahit. Karna memaafkan itu sulit."

Aku menutup mataku. Merasakan sekali lagi kehangatan kopi menjalar di kerongkonganku.
"Aku memaafkannya..." Sekarang, pipiku hangat.

Jumat, 03 Juni 2011

Bicara kompromi, bicara kamu

Saya pernah bilang sama kamu. Kamu bukan type saya. Tapi sedikit bicara tentang kompromi, ada pengecualian buat kamu. Ada banyak kompromi-kompromi buat kamu.
Semisal, saya tidak suka laki-laki berkulit putih, saya lebih suka yang hitam tapi sexy. Kamu, laki-laki putih yang sexy. Saya tidak suka sesuatu yang rapi, saya rasa itu sedikit membosankan. Kamu menyusun segala sesuatunya dengan rapi, saya selalu ditegur tiap kali kita makan bersama, karena mengangkat kaki ke atas kursi. Kamu bilang, saya ini perempuan. Tapi sekali lagi, kamu tidak pernah membosankan.
Kamu laki-laki yang serius, tidak dalam semua hal. Kadang kamu melakukan hal-hal konyol yang bikin saya senyum-senyum kecil saat mau tidur. Tapi kamu juga tidak selalu lucu. Leluconmu kadang terlalu maksa. Apalagi kalau saya sedang ngambek, kamu selalu memaksakan diri untuk melucu. Hal itu ga bikin saya ketawa, hal itu bikin saya bersyukur. Kamu selalu berusaha membuat saya tersenyum.
Perut gendut.
Saya kadang sebal melihat perut gendut kamu. Tapi, saya tidak pernah menganggap itu penting. Saya suka kamu :>
Saya tidak pernah mau mengakui bahwa saya sedang jatuh cinta. Mungkin sifat egois saya menguasai. Sampai saat ini pun, saya masih gengsi mengakui saya tengah jatuh cinta. Disaat saya sudah kehilangan kamu.

Saya mulai berdiskusi dengan hati. Pantaskah kompromi-kompromi itu buat kamu?

Love, K!