Sabtu, 19 Januari 2013

Serupa Apa Wajah Kebenaran?

Suatu nanti, akan aku temui serupa apa wajah kebenaran.

Bukan hendak berterimakasih. Apalagi memberi kasih. Hanya sekedar ingin tahu bagaimana hidupmu selama ini. Itu saja.

Akan aku temui mataku dalam matamu, kurasa. Atau bentuk hidungku. Atau alis. Ah entahlah. Aku hanya ingin tahu, serupa apa wajah kebenaran.

Setelahnya, bolehlah kita kembali menjalani yang seperti biasa. Lalu berpura tidak tahu apa-apa.

Aku bahagia, kuharap kau pun bahagia. Sekali lagi, ini buka rindu, hanya sekedar ingin tahu.

Saat sosok yang tak bisa kaubayangkan mengusir kantukmu.

Published with Blogger-droid v2.0.9

Aku, Kejora.

Ibu Rika bilang, sukarelawan yang sering datang kesini adalah mahasiswa-mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa. Aku tak banyak mengerti, yang aku tahu mereka selalu mengajar anak-anak yang luar biasa. Seperti aku.

*****

Anak ombak yang saling mengejar terdengar semakin deras berdebur. Kurapatkan jaket, sebelum angin pantai menelusup tengkuk dan meremangkan bulu kuduk. Kini, semburat jingga dan ungu muda pasti sedang menghiasi permukaan laut serupa memancar bayang langit senja pulau Bawean. Aku menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, rasanya sangat menyenangkan.

Langkahku semakin bersemangat ketika riuh canda tawa anak-anak yang masih sangat muda mulai sayup terdengar. Belum sampai aku pada sebuah gubuk panggung tanpa bilik tempat anak-anak itu berkejaran, kehangatan sudah menjalar dalam tubuhku, meski penerangan yang kami miliki hanya dua buah petromak yang menggantung pada sudut kayu penyangga gubuk tersebut.

"Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumsalaaaam. Ibuuuu!"

Seketika senyumku pecah.


*****


"Ibu, Kejora mau tanya."

"Sebentar ya, ibu sedang sibuk. Sebentar ya."

"Kejora cuma mau tanya sebentar aja, ibu."

"Tapi ibu sedang sibuk, kakak-kakak sukarelawan sudah menunggu."

"Satu pertanyaan saja ibu."

"IBU BILANG SEBENTAR, KEJORA!"

"Kenapa Kejora tak punya Ayah, Bunda?"

Pecah juga pertanyaan yang tak bisa lagi kupendam rasa ingin tahu atasnya. Dari sekian banyak pertanyaan yang selalu melintas dikepalaku setiap kali aku terduduk diatas ayunan dari ban bekas depan panti selepas sholat isya, satu pertanyaan inilah yang paling mengganggu. Pertanyaan yang paling sering aku tanyakan pada Pemilik Langit, "Kenapa Kejora tak punya Ayah, Bunda?". Dan kali ini aku membuat Ibu Rika marah, Ibu pemilik panti yang senantiasa selalu menyayangi dan menjagaku entah dari kapan, kini kubuat marah karena satu pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawab meski setiap kali berkah turun dari langit, berulang aku lirihkan pertanyaan yang sama. Yang itu-itu lagi.

Kutundukkan kepalaku dalam-dalam, siap dengan semua amarah yang akan aku terima karena rasa ingin tahu yang semakin hari semakin membuncit. Kudengar Ibu Rika menghentikan kegiatannya dengan kertas-kertas diatas meja, namun tidak juga menjawab pertanyaanku. Hanya sunyi.

"Maaf ibu, Kejora nakal. Maaf."


*****


Sebuah tangan mengelus lembut jilbabku, dan aku masih menekuk dalam-dalam kepalaku. Ternyata menahan air yang terlanjur mengembun dimata hanya akan meninggalkan sakit, seperti menelan biji mangga yang tersangkut dikerongkongan.

"Saat itu gerimis. Ketika teman ibu mengantarkanmu ke panti ini. Kejora masih sangat kecil, hanya berumur beberapa hari. Jari-jari tangan dan kaki kejora yang kecil menggulung karena kedinginan.

"Teman ibu bilang, Bunda meninggal beberapa jam setelah melahirkanmu karena rahimnya yang lemah. Sedangkan Ayah sudah lebih dulu mendahului Bunda 5 bulan sebelum kau lahir, karena kecelakaan kerja ditempat proyeknya. Mereka berdua sangat menyayangimu, Kejora. Kau tahu itu kan?"

"Iya, ibu." pipiku sudah basah ketika kata gerimis keluar dari mulut ibu Rika. Tangan-tangan itu kini merangkul tubuhku.

"Kau tahu, mengapa ibu memberimu nama Kejora?"

Aku hanya menggeleng lemah tanpa sedikitpun mengangkat wajahku dari pundaknya.

"Karena ibu tahu suatu saat nanti kau akan menjadi bintang yang paling terang dilangit, kemudian menjadi penunjuk jalan pulang bagi siapapun yang tak tahu kemana harus melangkah."

"Apa bintang Kejora itu, indah bu?"

"Sangat indah."

Tangisku perlahan mereda. Aku mulai bisa mengatur nafasku yang sedari tadi tersengal.



*****



Satu persatu anak-anak itu menyiumi punggung tanganku. Perlahan aku menaiki tangga gubuk panggung tersebut. 3 buah anak tangga yang sudah kuhapal betul letaknya, sehingga aku tidak pernah lagi terjatuh seperti beberapa hari pertama aku mengajar.

"Para khalifah, sudah siap mengaji kan hari ini? Sudah siap mencari ilmu?"

"Siiiaaaap!!"

Kukeluarkan Al-Qur'an Braille yang kudapat dari kakak-kakak sukarelawan yang sering mengunjungi panti dulu.  

"Bismillah.."




*****


"Ibu, apa betul di Surga kita bisa pinta apa saja?"

"Iya. Memang Kejora mau minta apa?"

"Kejora ingin lihat Ayah dan Bunda."

 *****

"Saat senja tiba pada awal bulan juli, cobalah tengok langit sebelah barat. Walaupun belum sepenuhnya gelap, sebuah bintang cemerlang tampak cukup tinggi menggantung. Awan tipis musim kemarau ini tak mampu membendung sinarnya. Itulah bintang kejora."

Kamis, 17 Januari 2013

Perubahan

"Aku tak pernah menyesali satu apapun dari semua yang telah terjadi dalam hidupku. Karena penyesalan hanya dirasakan oleh orang-orang yang tak pernah berubah." - Yuliani

*****

Baiklah, malam ini saya hanya mau menulis. Bukan menulis sajak. Hanya mau menulis

Tentang perubahan.

Beberapa hari yang lalu salah satu sahabat saya bercerita tentang perubahannya. Keinginan untuk konsisten dengan perubahan yang telah ia putuskan. Haru. Sungguh terharu dengan keptusan yang ia ambil. Hampir saja ingin menangis ditempat kalau tidak mengingat saya sedang dalam suatu kegiatan diluar rumah.

Manusia sempurna karena akalnya. Ciri dari manusia adalah bisa berpikir. Dan hasil dari berpikir adalah perubahan. Walaupun cara dan jalan yang ditunjukkan oleh-Nya berbeda-beda dalam setiap proses perubahan namun tetap tujuannya hanya satu. Mendekatkan diri pada-Nya.

Malam itu, saat kabar bahagia itu saya dapat dari seorang sahabat, saya ditegur melalui kegiatan yang saya ikuti. Dari semua pertanyaan, ada satu pertanyaan yang benar-benar mengetuk satu pintu yang rasanya sudah lama tertutup rapat, "Mau dikenang sebagai siapa saat nanti kematian menjemputmu?" 

Termangu lama. Kemarin, rasanya terlambat untuk semua perubahan. Rasanya terlalu lama dan rapat pintu itu tertutup. Hingga pertanyaan itu seakan menyadarkan, selama kematian belum menjemputmu, tidak ada yang terlambat.

Saya ingin dikenang sebagai,

Seorang anak yang selalu membuat orangtua saya tersenyum bangga.
Seorang istri yang hingga akhir hayat menjaga kehormatannya.
Seorang ibu yang lembut dan penyayang bagi anak-anaknya.

Terlambatkah?

Tak akan pernah jika dimulai dari sekarang.


"Rasa sayang bukan tentang perasaan bahagia saat melihat ia bahagia. Tapi bahagia melihat ia lebih baik dari sebelumnya." - Yuliani


(peluk para sahabat)

Halo, sahabat.

Inilah aku dan malam-malamku. Saat bintang yang menggantung dilangit sebelah timur hanya samar-samar terlihat. Menyisakan dongeng tentang bintang jalan pulang dan rindu yang teramat sangat. Kerinduan akan hujan dan kolong panggung. Lutut-lutut yang dilipat berhimpitan. Seragam-seragam yang basah dan bau keringat. Atau tentang tawa yang dikulum menghadapi teriak para senior. Juga tentang degup sesaat sebelum waktu yang menentukan sekali dalam seumur hidup.

Tentang para sahabat.

Sahabat. Menahan rindu tak lagi semenyenangkan dulu. Biar satu senyum diwajahmu menjadi pereda bagi perih dalam lambungku.

Sahabat. Ceritakan lagi padaku tentang mimpi-mimpimu. Aku hanya ingin kita bertemu, duduk bersama dan mendengarkan semua kisahmu.

Sahabat. Tahukah kau bahwa kita adalah satu? Walau dalam 365hari hanya ada satu waktu dan satu tempat kita saling beradu rindu. Bercerita tentang angan dengan terburu-buru. Setelahnya, kau dan aku hanya saling mengamati dari jauh

Sahabat. Kau dan aku pernah saling membutuhkan pundak untuk bersandar. Sekedar supaya kita sadar bahwa diam dan sunyi bukan berarti sepi. Kau dan aku, sunyi bukan sepi.


Apa kabar sahabat?

Aku rindu, rindu teramat sangat.