Senin, 16 Januari 2012

Day#3: Refleksi

Untuk kamu, seorang gadis dibalik cermin.

Apa kabar mata indahmu? Mata yang bisa menceritakan seluruh perasaanmu, tanpa satu patah kata terucap. Mata itu, aku sanggup menghabiskan malam hanya untuk memandang matamu itu.

Ingat tadi malam, aku berjongkok memeluk tubuhmu. Semalam, hanya ada kita berdua sayang.
Aku memejamkan mata, mencoba mendengarkanmu. Mendengarkan hatimu, keluh kesahmu.
Saat kau mulai menceritakan seseorang yang tengah mengusik jiwamu, tergurat jelas ragu.
Sayang, kita sudah terlanjur berjanji pada masing-masing untuk tidak menggubris perasaan-perasaan itu. Lirih kau berbisik "Aku takut", aku mengencangkan pelukku, jangan khawatir kita akan baik-baik saja. Selama kau masih percaya padaNya, Yang menciptakan kau dan aku.
Sudah lama aku tak melihatmu menangis sehisteris malam itu. Terakhir kali, saat ia menyakitimu, kau meraung-raung seperti kehilangan akal. Aku tak mengerti mengapa kau menangis, kemudian kau tatap aku dengan tatapan menyalahkan. Aku menyakitimu?, tanyaku. Kau masih sesegukan tak acuh pada pertanyaanku.

Aku sadar, aku menyakitimu. Maafkan aku yang belum bisa menjaga kau yang dititipkan olehNya. Mulai sekarang, ijinkan aku menepati janji-janjiku padamu. Janji-janji yang kau yakini bisa membawa kita pada kebahagiaan.

Pagi ini, bantal kita masih basah, sisa tangis tadi malam. Aku menoleh pada kaca almari disamping tempat tidurku, kau tersenyum.
"Mari berusaha lagi mulai hari ini", katamu.

Dari aku,
refleksimu.


"Janji yang paling penting adalah janji pada dirimu sendiri" - @yuuiiw

Minggu, 15 Januari 2012

Day#2: Aku Mau Nama Belakangmu

Halo,
Kalau kau baca suratku terdahulu, tentu kau sudah mengira bahwa kau adalah target kedua surat cintaku berlabuh.
Apa kabar pohon mangga depan rumah yang kau sayangi itu? Sudah berbuahkah?
Kuharap luka yang ada dikakimu saat menanam pohon mangga itu tak menjalar ke paru-paru yang sudah terlalu banyak menghirup puntung-puntung rokok pembakar uangmu itu. Maaf aku selalu sinis soal ini.
Lalu jika kau tanya apa kabar janjiku untuk membanggakanmu, aku rasa mereka sudah sedikit berkarat. Banyak lubang sana-sini, dan butuh waktu untuk memperbaikinya. Tapi tenang saja mereka tak akan pernah rusak, apalagi hilang.

Malam itu, terimakasih telah menyelamatkan aku dan keluargaku dari laki-laki entah siapa yang meninggalkan kami begitu saja. Awalnya asing sekali saat aku harus memanggilmu "Papa". Suasana rumah menjadi sangat dingin jika kau pulang dari kantor. Walau dengan senyum yang dapat terbaca jelas bahwa kau mencintai kami, aku belum benar-benar bisa menerimamu.
Namun entah sejak kapan aku mulai banyak menirumu. Gaya berbicara, pola pikir, cita-cita, bahkan aku menjadikanmu figure ideal calon suamiku. Kupikir, setidaknya harus bertanggung jawab sepertimu. Kau mengajarkan aku banyak hal, termasuk mencintai. Caramu mencintai mama, aku dan adikku dengan tulus, membuatku belajar mencintai apapun yang ada disekelilingku dengan tulus.
Aku ingat pertama kali aku membawa teman laki-laki kerumah, kau terlihat galak sekali. Sempat kesal, kenapa kau begitu sinis pada teman laki-lakiku? Kau mulai banyak melarangku. Namun belakangan aku mengerti, kau cemburu. Takut kehilangan anak perempuan pertamamu ini ya? Tenang, kau masih menjadi laki-laki yang paling aku cintai :)

Seseorang berkata "Kalau mau menikah, harus pakai nama belakang ayah kandung loh".
Perset*n dengan itu, aku mau namamu yang ada di belakang namaku, saat aku menikah ataupun pada batu nisanku kelak.

Love,
Daddy's daughter.

Sabtu, 14 Januari 2012

Day#1: Untuk seseorang dibalik jendela hujan

Aku tak banyak mengenalmu, bahkan sejak kali pertama kita bertemu aku tak mengerti mengapa ada air mata di pipimu.
Aku tak mengerti mengapa kau selalu mengirimiku pesan singkat saat langit mulai gelap.
Aku tak mengerti mengapa kau suka berlama-lama menatap hujan.
Aku tak tahu kau diam-diam menangis, menahan rasa sakit dikepalamu.
Aku tak tahu kalau kita harus berziarah, pada malam hari kau tak bisa tidur karena ketakutan.
Aku tak mengerti arti tatapanmu saat aku pulang larut.
Maaf, terlalu banyak yang tak aku mengerti tentangmu.

Maaf, telah banyak mengecewakanmu.
Maaf, aku belum bisa menepati janjiku padamu.
Maaf, aku belum bisa membahagiakanmu.

Kau, yang mengenalku terlampau dalam, aku mohon jangan pernah berpikir tentang perpisahan. Kita, manusia, tahu bahwa perpisahan adalah hal mutlak. Aku ingin kau tahu betapa sedihnya aku saat kau selalu mengungkit kematian. Apa yang kau rasakan saat seseorang yang menjadi salah satu alasanmu hidup, membahas tentang kematiannya?
Jika saja aku bisa memindahkan rasa sakitmu padaku agar kau bahagia, aku bersedia.

Kini, kerut wajahmu tak mampu lagi berbohong.
Hujan tak mampu lagi menutupi keringat dan air matamu.

Terimakasih. Aku mencintaimu.
Wanita yang pernah mempertaruhkan nyawamu demi nyawaku.