Sabtu, 27 Oktober 2012

Kisah Benang Merah

Selamat malam tulang rusuk tanpa tuan
Mencuri dengar jejak langkah masa lalu
Kau kagumi kisah benang merah yang mengikat kelingking antara kau dan tuanmu
Mereka bilang kau hebat
Karna kau terbuat dari bahan yang kuat
Mereka lupa, sayang
Pori-pori dalam tubuhmu terlalu besar hingga jika kau ketuk sekali saja, serpihannya dapat menyakiti kaki-kaki telanjang yang menginjak-injak dirimu
Berdiri
Ikuti rentang benang merah yang kau sendiri tak tahu dimana ujungnya
Jika kaki yang menopangmu sudah terasa lemas,
Kau ada dalam setengah perjalananmu
Selamat malam tulang rusuk tanpa tuan
Published with Blogger-droid v2.0.9

Kamis, 18 Oktober 2012

Pertama

Pagi ini tetiba ingat puisi pertama saya. Maksudnya bukan puisi yang pertama kali saya buat, tapi puisi yang pertama kali saya tujukan untuk seseorang. Waktu itu, jaman SMP. Saya kecil, baru pertama kali merasakan gugup yang teramat sangat saat melihat sosok lawan jenis. Namanya, Gema Ramadhan. Usianya tiga tahun lebih tua dari saya. Gema adalah sepupu kawan kecil saya.

Pertama kali menulis puisi buat seseorang, dan pertama kali patah hati. Gema bilang, dia lebih suka lirik lagu daripada puisi :(
Gema suka nyanyi. Dia pernah mengisi acara di komplek rumah saya dulu. Suara dan penampilannya mampu menghimbur semua yang datang, terutama anak muda. Setelah tampil, biasanya dia membagikan stiker, dan mati-matian saya desak-desakkan dengan warga komplek yang notabene ukuran tubuhnya lebih besar dari saya, hanya untuk menyimpan satu stiker Gema dan kawan-kawannya.

Setelah saya masuk SMA, hampir lupa saya dengan puisi pertama saya, patah hati pertama saya, dan orang yang pertama kali buat saya gugup. Sampai saya dengar bahwa Gema kecelakaan dan meninggal.

Saya bahkan belum sempat bilang,
"Gema, puisi saya boleh kamu jadikan lirik lagu."




6.55
Bandung, 19 Oktober 2012
Baru sekarang saya posting tulisan lama ini.
Disela jadwal kuliah yang digeser jadi lebih siang.

Kamis, 11 Oktober 2012

"Pulang"

Saya rindu naik kereta. Dengan pemandangan sawah dan perumahan yang monoton. Bunyi berisik khas kereta api yang tak lantas menyadarkan saya dari lamunan sepanjangan perjalanan. Melamun itu bagian dari perjalanan, setelah membiarkan kenangan-kenangan random berjejal sesak, seketika kau kosongkan isi kepalamu. Ringan. Saya rindu pulang setelah perjalanan jauh yang melelahkan.

Tetiba saya ingat beberapa saat sebelum mendiang kakek saya meninggal, saat beliau masih dirumah saya, di Bandung, beliau berteriak "mau pulang, mau pulang". Kami, keluarganya, tidak mengerti apa yang dimaksud dengan mau pulang. Akhirnya kami memutuskan untuk membawa kakek saya pulang ke rumah tempatnya dilahirkan, daerah Cicalengka, kabupaten Bandung. Sesampainya, beliau masih juga berteriak "mau pulang, mau pulang.". Sampai akhirnya beberapa hari setelah kejadian itu, beliau "berpulang".

Saya baru mengerti sekarang, rupanya kakek saya sudah lelah dengan perjalanan. Beliau butuh rumah untuk pulang. Dan setiap orang akan pulang.