It's my first love
What I'm dreaming of
When I go to bed
When I lay head upon my pillow
Don't know what to do
My first love
He think that I'm too young
He doesn't even know
Wish that I could show him what I'm feeling
Cause I'm feeling my first love...
***
Setiap hari rabu pukul 4 sore, aku selalu menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahku. Karena hanya setiap hari rabu aku mempunyai waktu pulang lebih cepat
dari hari lainnya. Sedangkan hari libur, taman ini terlalu penuh dengan orang-orang yang berbelanja. Aku
tidak suka tempat yang terlalu ramai.
Di taman ini selalu banyak berkumpul para seniman yang menjajakan hasil karyanya. Entah itu lukisan, piring-piring keramik, atau hiasan-hiasan kayu. Ada beberapa yang dijual ada juga yang hanya sekadar memajangnya untuk dinikmati para pejalan kaki sepertiku. Bahkan di antara mereka ada juga yang menyediakan jasa lukis.
Setelah menyelusuri jalan kecil, tak lama, aku melihat seorang laki-laki dengan perawakan kurus. Ia memiliki sorot mata yang teduh dan garis wajah yang tegas. Ia selalu duduk disana, diatas kursi lipatnya, di pinggir sebuah lampu taman berwarna hijau, menghadap sebuah danau kecil, dengan kanvas dan kuas yang tak pernah kering. Ia sering melukis di tempat itu, tapi anehnya tak satupun hasil karyanya dipajang. Ia juga tidak menyediakan jasa lukis seperti seniman lain.
Sebenarnya, laki-laki ini adalah salah satu alasan mengapa aku sering datang kesini. Aku mencarinya. Hanya sekedar ingin melihatnya. Ya, aku menikmati hasil karya Tuhan yang satu ini. Aku suka kerut di dahinya saat ia melukis. Aku suka saat ia menggera-gerakkan kepalanya, menimbang-nimbang apa ada yang salah dengan lukisannya. Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya saat melukis.
Tak terasa langit sudah mulai jingga, ia meregangkan tangannya dan mulai memasukan satu persatu kuas dan cat-cat minyak ke dalam kantung backpack besarnya. Sedangkan aku masih memandanginya sambil duduk di atas rumput yang mulai basah karna embun. Aku menghela nafas, cukup untuk hari ini, sudah waktunya aku pulang.
Aku bangkit dari tempatku, lalu menepuk-nepuk bagian belakang rokku, karna ada serpih rumput yang menempel disitu. Saat aku mendongakkan kepala, aku melihat sosok itu dihadapanku. Ssosok yang selama ini aku pandangi dari jauh, kini ia berdiri di depanku. Aku masih melongo sampai ia menyadarkanku dengan menyerahkan sebuah kanvas.
"Apa ini?" ucapku spontan. Kebingungan, malu dan tentunya gugup.
"Lukisanku. Rabu depan aku tidak melukis disini lagi." jawabnya sambil tersenyum.
Kemudian membalikan badan bahkan sebelum aku sempat mengucapkan terimakasih. Aku memandangi punggungnya yang kurus, menjauh, lalu menghilang di antara pohon saat ia berbelok.
***
Aku masih berdiri memandangi lukisan yang menggantung di ruang tamuku. Lukisan dengan pemandangan danau dan senja dari sebuah taman. Tak jauh dari situ terlihat seorang perempuan dan tas selempangnya duduk diatas rumput diantara seniman yang menjajakan hasil karyanya. Aku menikmati lukisan ini seperti aku menikmati seseorang yang melukisnya dulu.
"Sayaaang, mau sampe kapan lukisannya diliatin? Aku cemburu niih.." tegur seseorang menyadarkan lamunanku sambil melingkarkan tangannya dipinggangku.
Aku menoleh, memandang matanya yang kini melihat ke arah lukisan itu dengan cemburu.
"Bagus lukisannya." ucapku.
"Lukisannya atau yang ngelukisnyaa?" kini nada bicaranya mencoba menggodaku.
"Jadi cemburu sama lukisannya atau sama yang ngelukisnya?" kini ia tidak menjawab. Hanya mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil.
Aku terkekeh melihat tingkahnya,
"
The most important thing is to be the best, not to be the first." bisikku sebelum akhirnya mengecup bibir suamiku. Lembut.